Numpang promo

Welcome To My Place......

Selamat datang di blogku

Sabtu, 31 Desember 2011

Kerapan Sapi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya yang ada di Indonesia berjumlah ribuan. Namun, tidak sedikit dari kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut yang masih diletarikan oleh masyarakat. Terutama pada masyarakat perkotaan yang sudah mulai pudar pengetahuan mengenai kebudayaan daerah setempat. Untuk itu perlu dilakukan kajian ulang mengenai kebudayaan daerah sehingga generasi penerus dapat mengenal kebudayaan yang sudah ada sejak nenek moyang mereka.
Kebudayaan daerah yang dibahas dalam makalah ini adalah tentang Kerapan Sapi masayarakat Madura. Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja nilai yang terkandung dalam kebudayaan kerapan sapi?
2. Bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dilestarikan oleh masyarakat?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Agar kebudayaan kerapan sapi lebih dikenal oleh masayarakat baik dari masyarakat Madura atau di luar masayarakat Madura.
2. Agar kebudayaan kerapan sapi dapat dilestarikan dan tidak hilang tergerus modernisasi.
3. Agar pembaca dapt mengetahui nila-nilai yang terkandung dalam kebudayaan kerapan sapi.

1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah melalui kajian pustaka, yaitu suatu metode penyusunan makalah berdasarkan hasil pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Sumber lain mengatakan bahwa pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut “tukang tongko”. Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam keadaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa.

2.2 Sejarah
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.
Berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Sumenep pada abad 13. Konon pada era pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep, Raja arif bijaksana ini senantiasa memikirkan cara agar para petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena pada masa itu, cara bercocok tanam masih sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan serba batu.
Setelah berembuk dengan para cerdik pandai, maka dititahkan kepada ahli pertukangan untuk membuat alat yang terbuat dari bambu. Dan alat tersebut ditarik oleh dua ekor sapi, diharapkan dengan bantuan alat tersebut akan mampu mengurangi beban kerja petani. Maka terciptalah sebuah peralatan , yaitu bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi.
Ketika melihat sebagian rakyatnya berkurang kesibukannya seusai panen, terpikir oleh Sang Pangeran untuk memanfaatkan waktu luang dan terbuang tersebut. Semacam keramaian sekaligus kegiatan rekreasi, yang nantinya akan mampu meningkatkan produksi, baik produki peternakan maupun produksi pertanian.
Ide cemerlang pun terlahir, yaitu sebuah bentuk permainan yang mengasyikkan terbentang di benak pikiran sang Pangeran. Permainan yang muncul di pelupuk mata adalah semacam perlombaan. Perlombaan memacu sapi dengan cara memacu berpasang-pasang sapi dalam sebuah areal tegalan yang luas. Dan dalam permainan tersebut, pasangan sapi yang diperlombakan dalam pacuan harus menggunakan peralatan serupa “bajak”, yang biasa dipakai untuk menggarap sawah ladang.
Disamping itu, agar rakyat mampu meningkatkan produksi ternak sapi karena mampu meningkatkan hasil ternak sapi yang sehat, sehingga dapat diadu larinya juga mampu menghasilkan daging sapi bermutu tinggi.
Gagasan Pangeran Katandur terwujud, mula-mula penggandeng pasangan sapi itu terbuat dari bambu. Bentuknya pun serupa bajak. Tetapi ujung bawahnya dibuat rata, sehingga tidak mendongkel tanah. Alat tersebut dinamakan “Kaleles”. Sejak saat itulah, kerapan sapi menjadi perlombaan dan permainan rakyat yang sangat digemari.

2.3 Deskripsi Objek
Anatomi Kerapan
Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan “pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan. Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko (joki). Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu.
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).
Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.

Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:

1. Kerap Keni (kerapan kecil)

Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)

Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)

Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)

Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)

Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi

Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).

Jalannya Permainan

Sampai saat ini pesta permainan rakyat, Kerapan Sapi diadakan setiap tahun. Dari tingkat wilayah terendah sampai tingkat Karesidenan. Seleksi biasanya diadakan dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai tingkat Madura. Konon ketika wilayah Madura masih berada dalam cengkeraman kolonial Belanda, Kerapan Sapi dilombakan dengan pengaturan dan jadwal sedemikian rupa, sehingga puncak kemeriahan perlombaan jatuh pada tanggal 31 Agustus, tepat hari lahirnya ratu Wilhelmina.
Dalam pelaksanaan perlombaan sebagai ajang pesta rakyat, Kerapan Sapi menyedot semua energi dan aktifitas. Jauh-jauh hari sebelum acara diadakan, perhatian terhadap hewan tersebut sangatlah istimewa. Hewan yang akan dilombakan berada dalam pengawasan yang sangat ketat. Dari pola makanan, suspensi penambah stamina berupa jamu dan ramuan sampai pada kesiapan dalam bentuk supranatural, jampi-jampi, mantera-mantera. Hal itu dalam upaya agar sapi nantinya menjadi yang tercepat, terdepan dan menang.
Adapun kesibukan yang dilakukan sebelum acara perlombaan dimulai, antara lain :
Pada malam hari sebelum hari kerapan tiba, pemilik beserta keluarga serta para supporternya membawa pasangan sapi ke arena perlombaan. Pasangan sapi tersebut, diiringi seperangkat gamelan dan Saronen. Mereka mengadakan perkemahan, sehingga pada malam hari sebelum hari H tiba, di arena perlombaan menjadi tempat yang sangat meriah. Karena peserta dari daerah lain pun berkumpul disana. Pada malam tersebut, tak seorangpun dapat tidur. Karena masing-masing orang telah mempunyai tugas dan kewajiban. Terutama petugas perawat sapi, disamping memijat-mijat (massage) juga menjaga pembakaran. Dengan tujuan agar tak seekor nyamuk pun datang mendekat. Bahkan dari sebagian anggota rombongan melakukan tirakat, agar keesokan harinya sapi yang menjadi andalan keluar sebagai pemenang.
Pada pagi hari, sepasang sapi digandengkan pada Kaleles, dan didandani sedemikian rupa sehingga sepasang sapi tersebut ber-penampilan keren, gagah dan menarik. Setelah itu, sepasang sapi tersebut diarak keliling lapangan diiringi oleh bunyi “taktuk”, (semacam seperangkat gamelan) yang bertalu-talu serta Saronen. Tingkah polah para pengiringpun tak kalah meriah, ada yang membisiki sapi dengan rayuan kata-kata indah agar berjuang untuk menang, ada pula yang menari-nari sambil bernyanyi,
Setelah melakukan seremonial mengelilingi lapangan, sepasang sapi tersebut dibawa ke tempat yang teduh, menunggu giliran nomer perlombaan. Semua aksesoris di tubuh sapi ditanggalkan, dan sepasang sapi tersebut telah siap tempur untuk memacu kecepatannya berlari.
Dari masa ke masa dan telah beratus-ratus tahun pesta rakyat Kerapan Sapi ini dilombakan. Tentunya telah terjadi perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Pada era sekarang tidak lagi melakukan perkemahan pada malam hari, namun sapi-sapi yang akan dilombakan langsung datang pada hari H, saat perlombaan. Selain itu pada awal keberadaan Kerapan Sapi, tidak ada model penyiksaan seperti pada masa sekarang. Untuk memperkencang laju Sapi ketika berlaga, maka dipergunakan pelepah daun pisang (pak-kopak), dibentuk semacam mainan dan menimbulkan suara keras ketika dipukulkan ke punggung sapi. Binatang tersebut benar-benar diperlakukan secara manusiawi.
Berbeda dengan era sekarang “rekeng coccona” sapi (alat pemacu yang digunakan joki) dilengkapi dengan benda-benda tajam. Benda-benda tajam tersebut kemudian ditusuk-tusukkan oleh Joki ke pantat sapi, begitu aba-aba dimulai. Tentu saja sapi-sapi akan lebih memperkencang laju larinya, karena kesakitan. Belum lagi bentuk penyiksaan yang lain, sebelum sapi di lepas berlaga di arena, seluruh bagian badan terutama bagian kepala sapi disiram air cabe atau dibaluri reumason
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.
Dalam setiap perlombaan diadakan suatu bentuk kepanitiaan perlombaan lengkap dengan dewan juri. Panitia pelaksana biasanya berasal dari pihak Pemerintah Daerah, apabila dilaksanakan dalam even kabupaten dan pihak kecamatan apabila dilaksanakan dalam even kecamatan. Adapun komposisi kepanitiaan berasal dari unsur dinas instansi, Muspika dan dibantu oleh Dinas Kehewanan. Tidak menutup kemungkinan kepanitiaan dibentuk oleh masyarakat pecinta sapi kerapan (swasta).
Adapun ketentuan lain yang diatur dalam setiap perlombaan, adalah :
1. Sepasang Sapi Kerapan dinyatakan sebagai pemenang, apabila kaki depan telah menginjak atau melompati garis finis,
2. Sepasang sapi harus tetap dinaiki oleh seorang joki, mulai dari start sampai finis . Walaupun sepasang Sapi Kerapan telah sampai ke garis finis, tetapi tanpa joki (sebab jatuh di tengah arena), akan dinyatakan kalah,
3. Setiap joki diberi selempang dengan warna berbeda,
4. Untuk mendapatkan pemenang, diadakan babak penyisihan. Yang menang dimasukkan dalam satu pool pemenang, demikian pula yang kalah. Untuk babak berikutnya, pemenang akan diadu dengan pemenang, yang kalah diadu dengan yang kalah. Sehingga setelah acara perlombaan usai, maka akan di dapat pemenang sebanyak 6 pasang, yaitu juara I, II dan III dari golongan pemenang dan juara I, II dan III dari golongan kalah,
5. Perlombaan dimulai apabila petugas pemegang bendera di garis start melambaikan bendera dari arah bawah keatas.
Adapun tugas dan tanggung-jawab dewan juri, antara lain :
1. Beberapa anggota dewan juri bertugas di garis finis, untuk meneliti kaki sapi yang pertama kali menginjak atau melompati garis finis,
2. Diatas panggung ada beberapa anggota dewan juri, sebagai dewan hakim yang berwenang memutuskan sapi pemenang dengan memegang bermacam bendera dan bertugas mengacungkan warna bendera yang sama dengan selempang joki pasangan sapi yang dinyatakan sebagai pemenang.

2.4 Nilai-nilai Multikulturalisme yang Terkandung dalam Objek
Nilai budaya

Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
Dibalik kemeriahan dalam arena Kerapan Sapi, ada satu makna filosofi yang sangat mendalam. Yaitu untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita perlu adanya satu kekompakan dan kebersamaan. Satu tujuan cita-cita akan tercapai apabila berada dalam satu komando. Joki merupakan gambaran sang komando dengan mengendarai sapi tunggangan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Dengan melintasi garis lurus (sapi berlari lurus), dipandu oleh Joki. Diumpamakan, garis lurus tersebut adalah pengejawantahan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan yang lurus.
Gambaran Joki sebagai komando diperjelas lagi dengan posisi kaki kiri Joki, diletakkan di Kaleles (nangkring), sedangkan kaki kanan merangkul di Kaleles yang melengkung. Ini merupakan gambaran (tipikal) seorang komando (pemimpin) yang harus berdiri tegak diatas yang dipimpinnya, juga merangkul sekaligus memiliki terhadap komponen yang dipimpinnya.
Dalam arti yang lebih lugas, suatu tujuan akan tercapai dan sukses apabila ada kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang dipandu oleh seorang komando (pemimpin), yang memiliki, merangkul juga melindungi komponen yang dipimpinnya. Sang komando dalam menjalankan kepemimpinannya senantiasa melintasi jalan yang lurus, selalu berada dalam rel kebenaran dan jujur.

2.5 Prospek Nilai-nilai yang Perlu Dilestarikan dan Cara yang Ditempuh
Dalam kebudayaan kerapan sapi terdapat beberapa nilai yang patut untuk dilestarikan. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Kerja keras sangat perlu dilestarikan, karena dengan kerja keras sesuatu dapat dicapai. Dalam masayarakat juga diperlukan kerja sama atau gotong royong, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Adanya persaingan, yang tentunya persaingan secara sehat, akan membuat motivasi seseorang dapat meningkat sehingga meningkatkan semangat pula. Ketertiban dan sportivitas yang dijunjung tinggi akan menciptakan kehidupan masayarakat yang aman dan jujur.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada penulisan makalah ini penulis menyimpulkan bahwa kerapan sapi yang sudah membudaya di Madura harus kita jaga dan terus melestarikannya untuk generasi selanjutnya ,agar nilai nilai budaya dan kearifan selalu di junjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Dalam budaya karaban sapi kita dapat memperoleh nilai-nilai yang luhur diantaranya yakni kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Selain itu juga karaban sapi menjadi budaya ciri khas di negara indonesia dan sumber devisa yang menguntungkan apabila selalu dikembangkan dengan mempromosikan ke berbagai daerah baik dalam negeri maupun luar negeri.

3.2 Saran dan Rekomendasi
Intinya pada hal ini kita harus meningkatkan kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Untuk sportivitas sendiri kita harus selalu menjaga kejujuran dan tidak bersikap curang dalam permainan kerapan sapi karena dengan adanya hal itu kita selalu meningkatkan nilai-nilai yang baik dan luhur serta kerja keras dan ketertiban harus kita junjung tinggi demi berjalannya pertandingan kerapan sapi tanpa adanya kericuhan.

3.3 Refleksi dan Rencana Tindak Lanjut
Untuk mewujudkan nilai sportivitas dalam pertandingan karaban sapi kita harus bisa menerima kekalahan dengan lapang dada dan tanpa adanya kericuhan. Baik pemainnya maupun penonton yang memberi semangat diharapkan tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan maka dari itu kita harus menjaga sportivitas

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Kerapan Sapi. (Online), (http://www.tembi.org/perpus/2007_09_perpus02.ht m, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2009.Awal Mula dan Nilai Tradisi Kerapan.(Online), (http://cahayapemikiran.blogspot.com/2009/02/awal- mula-dan-nilai-tradisi-kerapan.html#ixzz1bt9BpaUt, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Sejarah Kerapan Sapi Madura. (Online), (http://www.lontarmadura.com/2011/07/sejarah- kerapan- sapi-madura/#ixzz1bt8VA61j, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2010. Budaya Kerapan Sapi. (Online), (http://1c3tee.wordpress.com/2010/03/22/budaya- kerapan- sapi/, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Kerapan Sapi. (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Karapan_sapi, diaskes pada tanggal 17 Oktober 2011)
Anonymous. 2011. Kerapan Sapi. (Online), (http://youtube.com/kerapan-sapi/12135678, diakses pada 17 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Sejarah Kerapan Sapi. (Online), (http://faktaduniamaya.blogspot.com/2011/03/sejara h-karapan-sapi.html, diakses 26 Oktober 2011).
Mahrus, S. 2010. Sejarah Kerapan Sapi. (Online), (http://mahrus.student.umm.ac.id/2010/01/22/sejarah- kerapan-sapi/, diakses 26 Oktober 2011).

PROFIL KITE_KITE

Nama : Evi Nur Aili
TTL : Jakarta, 19 Agustus 1992
Motto : Semua ada di dalam diri dan pikiran kita masing-masing

Nama : Ernita Lovera Pratiwi Pasaribu
TTL : Mojokerto, 5 Agustus 1992
Motto : Nobody can stop my dream except God and myself
Nama : Noviani Susanto
TTL : Surabaya, 14 November 1992
Motto : Hidup hari ini harus lebih baik dari hari kemarin

Nama : Ika Puspitasari
TTL : Pati, 7 Februari 1992
Motto : Berbakti kepada orang tua merupakan kunci kesuksesanku

Nama : Noer Zein Hidayati
TTL : Probolinggo, 7 Agustus 1992
Motto : Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya

Fisiologi Tanaman - Pembungaan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu proses perkembangan yang harus tepat waktu adalah proses pembungaan. Tumbuhan tidak boleh berbunga terlalu cepat sebelum organ-organ penunjang lainnya siap, misalnya sebelum akar dan daun lengkap. Sebaliknya tumbuhan tidak boleh berbunga terlambat, sehingga buah tumbuhan tidak sempurna keburu musim dingin datang. Kejadian tersebut penting artinya bagi tumbuhan yang hidup di daerah 4 musim, sehingga mereka harus benar-benar dapat memanfaatkan saat yang tepat untuk melakukan perkembangaan nya. Tumbuhan semusim (annual plant) harus memanfaatkan waktu diantara musim dingin. Tumbuhan dua musim (biennial plant) pada musim pertama menghasilkan organ-organ persediaan makanan di dalam tanah, dan pada musim berikutnya melakukan pertumbuhan yang di akhiri dengan pembungaan. Tumbuhan menahun (perennial plant) akan menghentikan pertumbuhan dan perkembangan (dorman) pada musim dingin, berbunga pada musim berikutnya agar cukup waktu bagi buah untuk berkembang dan matang sebelum atau di awal musim gugur.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat erat berhubungan kehidupan tanaman, yang akan mempengaruhi proses-proses fisiologi dalam tanaman. Semua proses fisiologi akan dipengaruhi oleh suhu dan beberapa proses akan tergantung dari cahaya. Penyinaran cahaya terhadap tanaman merupakan salah satu faktor eksternal yaitu faktor dari luar yang mempengaruhi pembungaan (Natania, 2008).
Kejadian musiman sangat penting dalam siklus kehidupan sebagian besar tumbuhan. Perkecambahan biji, pembungaan, permulaan dan pengakhiran dormansi tunas merupakan contoh-contoh tahapan dalam perkembangan tumbuhan yang umumnya terjadi pada waktu spesifik dalam satu tahun. Stimulus lingkungan yang paling sering digunakan oleh tumbuhan untuk mendeteksi waktu dalam satu tahun adalah fotoperiode, yaitu suatu panjang relative malam dan siang. Respons fisologis terhadap fotoperiode, seperti pembungaan, disebut fotoperiodisme (photoperiodism) (Campbell, dkk., 1999).

Penemuan fotoperiodisme merangsang banyak sekali ahli fisiologi tanaman untuk mengadakan penyelidikan tentang proses itu lebih jauh dalam usahanya untuk menentukan mekanisme aksi. Mereka segera menemukan bahwa istilah hari pendek dan hari panjang merupakan salah kaprah (misnomer). Interupsi periode hari terang dengan interval kegelapan tidak mempunyai efek mutlak pada proses pembungaan (Natania, 2008).
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
- Untuk mengetahui mekanisme pembungaan
- Untuk mengetahui fitokrom















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Fitokrom
Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk mencerap (mendeteksi) cahaya. Sebagai sensor, ia terangsang oleh cahaya merah dan infra merah, cahaya infra merah memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari pada cahaya merah. Fitokrom ditemukan pada semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada bakteri. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme (pengaturan saat berbunga pada tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta pembuatan (sintesis) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah yang bersama-sama disebut sebagai fitokrom.
Penelitian rintisan terhadap pengaruh cahaya merah dan merah jauh terhadap pertumbuhan tumbuhan antara 1940-1960 dilakukan oleh Sterling Hendricks dan Harry Borthwick dari Pusat Penelitian Pertanian Beltsville di Maryland, dengan menggunakan spektrograf dari bahan-bahan sisa Perang Dunia Kedua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya merah memacu perkecambahan dan memicu tanggap untuk pembungaan. Lebih lanjut, cahaya merah jauh berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya merah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap rangsang cahaya ini berada di daun.

2.2.1. Mekanisme Kerja Fitokrom
Banyak hipotesis diketemukan tentang mekanisme kerja dari fitokrom. Salah satunya menyatakan kerja biologi pada mekanisme kerja fitokrom ini terjadi setelah terbentuknya Pfr(phytocrome infra red).


merah
Pr <=============> Pfr --------------- > kerja biologi

merah jauh

Sumber fitokrom dapat diperoleh dari biji-biji yang etiolasi, sedangkan pada jaringan normal hanya sedikit. Pada beberapa jaringan, perubahan Pr dan Pfr tidak selalu diikuti dengan terjadinya respon morfogenetik. Perubahan Pr <-------> Pfr prosesnya tidak sederhana seperti ditunjukkan di atas. Pengukuran dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa Pfr mungkin dipecah oleh cahaya merah jauh, tidak menunjukkan hubungan secara kuantitatif dengan hilangnya Pfr. Diduga mungkin Pfr berubah menjadi suatu derivat yang secara fotokimia tidak aktif.
Tidak aktif
x


Pr <=======> Pfr---------> Pfr x-------------> kerja biologi
Merah Jauh
Dirombak

Selain mengatur pembungaan, siklus pertukaran Pr Pfr kini juga diketahui mengatur fungsi pertumbuhan yang lain. Siklus ini misalnya merangsang perkecambahan biji benih dan memperlambat pamanjangan batang. Keadaan Pfr dengan jelas menunjukkan kepada biji bahwa terdapat cahaya matahari dan keadaanya sesuai bagi perkecambahan. Setelah perkecambahan, keadaan Pr menandakan bahwa pemanjangan batang perlu terjadi untuk memungkinkan tumbuhan menerima cahaya matahari. Anak benih yang ditanam dalam keadaan gelap akan mengetiolat, yaitu batangnya bertambah panjang dan daunnya juga tetap kecil. Sebaiknya anak benih dibukakan terhadap cahaya matahari dan Pr ditukarkan kepada Pfr. Anak benih mulai tumbuh secara normal daunnya bertambah besar dan batangnya bercabang.

2.2 Fotoperiodisme
Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran ( panjang pendeknya hari) yang dapat merangsang pembungaan. Garner dan Alard (1920) menyebutkan Maryland Mammoth adalah tumbuhan hari Pendek (short day plant), karena tumbhan ini nyatanya memerlukan suatu periode terang yang lebih pendek di banding dengan panjang siang hari yang kritis untuk pemrbungaan. Krisan, poinsettia, dan beberapa varietas kacang kedelai merupakan contoh tumbuhan hari pendek yang pada mumnya berbunga pada akhir musim panas, musim gugur, atau musim dingin. Kelompok lain yang bergantung pada fotoperiode hanya akan berbunga ketika periode terang lebih lama beberapa jam. Tumbuhan hari panjang (long day plant) ini umumnya berbunga pada akhir musim semi atau awal musim panas. Bayam, misalnya, ketika panjang siang hari 14 jam ata lebih lama. Lobak, dam selada, iris, dan banyak varietas sereal lain merupakan tumbuhan hari panjang. Perbungaan pada kelompok ke tiga, yaitu tumbuhan hari netral, tidak dipengaruhi oleh fotoperiode.
Tomat, padi, dan dandelion adalah contoh tmbuhan hari netral (day neutral plant) yang berbunga ketika mereka mencapai tahapan pematangan tertentu, tanpa memperdulikan panjang siang hari pada waktu itu. Yang dimaksud dengan panjang hari disini bukan panjang hari secara mutlak, tetapi panjang hari kritis. Tumbuhan hari panjang (LDP) mungkin memiliki panjang hari kritis lebih pendek dari tumbuhan hari pendek (SDP). Dinyatakan bahwa tumbuhan hari panjang akan berbunga apabila memperoleh induksi penyinaran yang sama atau lebih dari panjang harin kritisnya dan sebaliknya tumbuhan hari pendek akan berbunga, apabila memperoleh penyinaran sama atau lebih pendek dari panjang hari kritisnya ( Sasmitamihardja,1996).
Sebelumnya diduga bahwa tumbuhan dirangsang perbungaannya oleh lamanya panjang hari (day length). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malam atau panjang kegelapan tanpa selingan cahaya atau niktoperiode, dan bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode (franklin, dkk, 1991). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malamlah, bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode. Banyak saintis ini bekerja dengan cocklebur, yaitu suatu tmbuhan hari pendek yang berbunga hanya ketika panjang siang hari 16 jam atau lebih pendek (dan panjangnya malam paling tidak 8 jam). Jika bagian siang hari fotoperiode disela dengan pemaparan singkat terhadap kegelapan, tidak ada pengaruh pada perbungaan. Namun, jika bagian malam atau periode gelap dari fotoperiode disela dengan beberapa menit penerangan cahaya redup, tumbuhan tersebut tidak akan berbunga.
Coklebur memerlukan paling tidak 8 jam kegelapan secar terus menerus supaya dapat berbunga. Tumbuhan hari pendek sesungguhnya adalah tumbuhan malam panjang, tetapi istilah yang lebih kuno tersebut tertanam kuat dalam jargon fisiologi tumbuhan. Tmbuhan hari panjang sesungguhnya tumbuhan malam pendek ; apabila ditanam pada fotoperiode malam panjang yang biasanya tidak menginduksi perbungaan, tmbuhan hari panjang akan berbunga jika periode kegelapan terus menerus diperpendek selama beberapa menit dengan pemberian cahaya. Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur); tumbuhan hari panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek disbanding dengan panjang malam kritis. Industry penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara menyela setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu malam panjangmenjadi malam pendek. Tunas menghasilkan bunga, tetapi mendeteksi fotoperiode.
Pada banyak spesies tumbuhan hari pendek atau tumbuhan hari panjang, perbungaan cukup diinduksi dengan memaparkan sebuah daun tunggal terhadap fotoperiode yang tepat. Sesungguhnya meskipun hanya satu daun dibiarkan bertaut pada tumbuhan, fotoperiode akan tetap terdeteksi dan tunas bunga akan diinduksi. Namun, jika semua daun dibuang tumbuhan akan buta terhadap fotoperiode. Pada kenyataannya, beberapa pesan untuk berbunga diangkut dari daun ke tunas bunga. Sebagian besar ahli fisiologi tumbuhan yakin bahwa tumbuhan ini adalah sebuah hormon atau perbahan konsentrasi relatif dua atau lebih hormon. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetatif sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untuk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transmisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Sinyal untuk bunga yang berjalan dari daun ke tunas bunga kelihatannya sama pada tumbuhan hari pendek dan tumbuhan hari panjang, meskipun kedua kelompok tumbuhan tersebut berbeda dalam hal kondisi fotoperiodik yang diperlukan daun untuk mengirim sinyal tersebut. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetative sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik -diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur), tumbuhan hari panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek dibanding dengan panjang malam kritis. Industri penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara menyelang setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu malam panjang menjadi malam pendek.
Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.


2.2.1 Induksi Fotoperiodisme
Induksi fotoperiodisme sangat penting dalam perbungaan atau lebih tepat disebut in-duksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi fotoperioda sangat berva-riasi, ada tumbuhan untuk perbungaannya cukup memperoleh induksi dari fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lain memerlukan induksi lebih dari satu kali. Xanthium strumarium untuk perbungaannya memerlukan 8 x induksi fotoperioda yang harus berjalan terus menerus. Apabila tanaman ini sebelum memperoleh induksi lengkap, mendapat gangguan atau terputus induksi fotoperiodanya, maka tanaman itu tidak akan berbunga. Kekurangan induksi fotope-rioda tidak dapat ditambahkan demikian saja, karena efek fotoperioda yang telah diterima sebelumnya akan menjadi hilang. Untuk memperoleh induksi lengkap, tanaman tersebut harus mengulangnya dari awal kembali.
Di dalam menerima rangsangan fotoperioda ini, organ daun diketahui sebagai organ penerima rangsangan. Ada 4 tahap yang terjadi dalam resepon perbungaan terhadap rangsan-gan fotoperioda, pertama menerima rangsangan, kedua transformasi dari organ penerima rangsangan menjadi beberapa pola metabolisme baru yang berkaitan dengan penyediaan ba-han untuk perbungaan, ketiga pengangkuatan hasil metabolisme dan keempat terjadinya res-pon pada titik tumbuh untuk menghasilkan perbungaan.
Beberapa percobaan dalam hubungan dengan rangsangan ini, menunjukkan bahwa apabila daun dibuang segera setelah induksi selesai, tidak akan terjadi perbungaan , sedang-kan apabila daun dibuang setelah beberapa jam sehabis selesai induksi, tumbuhan tersebut dapat berbunga. Rangsangan yang diterima oleh satu tumbuhan dapat diteruskan pada tum-buhan lain yang tidak memperoleh induksi, melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbu-han tersebut dapat berbunga. Hormon yang berperan dalam perbungaan ini adalah florigen, yang masih merupakan hormon hipotesis.

2.3 Mekanisme Pembungaan
Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap penting, yang semuanya harus ber-hasil dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji. Masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang berbeda.

1. Induksi bunga (evokasi)
 Adalah tahap pertama dari proses pembungaan, yaitu suatu tahap ketika meristem vege-tatif diprogram untuk mulai berubah menjadi meristem reproduktif.
 Terjadi di dalam sel.
 Dapat dideteksi secara kimiawi dari peningkatan sintesis asam nukleat dan protein, yang dibutuhkan dalam pembelahan dan diferensiasi sel.
2. Inisiasi bunga
 Adalah tahap ketika perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup reproduktif mulai dapat terdeteksi secara makroskopis untuk pertama kalinya.
 Transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup reproduktif ini dapat dideteksi dari peru-bahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ reproduktif.
3. Perkembangan kuncup bunga menuju anthesis (bunga mekar)
 Ditandai dengan terjadinya diferensiasi bagian-bagian bunga.
 Pada tahap ini terjadi proses megasporogenesis dan mikrosporogenesis untuk penyempurnaan dan pematangan organ-organ reproduksi jantan dan betina.
4. Anthesis
 Merupakan tahap ketika terjadi pemekaran bunga.
 Biasanya anthesis terjadi bersamaan dengan masaknya organ reproduksi jantan dan be-tina, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Ada kalanya organ repro-duksi, baik jantan maupun betina, masak sebelum terjadi anthesis, atau bahkan jauh se-telah terjadinya anthesis.
 Bunga-bunga bertipe dichogamy mencapai kemasakan organ reproduktif jantan dan be-tinanya dalam waktu yang tidak bersamaan.
5. Penyerbukan dan pembuahan
Tahap ini memberikan hasil terbentuknya buah muda. Penyerbukan atau polinasi adalah transfer serbuk sari/polen ke kepala putik (stigma). Kejadian ini merupakan tahap awal dari proses reproduksi (Ashari,1998).

Menurut Elisa (2004) penyerbukan merupakan :
- pengangkutan serbuk sari (pollen) dari kepala sari (anthera) ke putik (pistillum)
- peristiwa jatuhnya serbuk sari (pollen) di atas kepala putik (stigma).

Bunga merupakan alat reproduksi yang kelak menghasilkan buah dan biji. Di dalam biji ini terdapat calon tumbuhannya (lembaga). Terjadi buah dan biji serta calon tumbuhan baru tersebut karena adanya penyerbukan dan pembuahan. Penyerbukan merupakan jatuhnya serbuk sari pada kepala putik (untuk golongan tumbuhan berbiji tertutup) atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji (untuk tumbuhan berbiji telanjang) (Sutarno dkk,1997).

Menurut Ashari (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar proses polinasi berjalan lancar dengan hasil optimal, antara lain :
1.Sistem penyilangan (breeding system) dan variasi jenis kelamin yang menentukan perlunya penyerbukan silang.
2.Saat penyebaran serbuk sari, reseptimatis stigma induk bunga, seluruh tanaman/ pohon yang dikaitkan dengan aktivitas harian serta musiman vektor penyebuk.
3.Vektor yang berperan dalam penyerbukan.
4.Pengaruh cuaca terhadap sinkronisasi pembungaan, penyebaran serbuk sari, serta aktivitas vektor.
Macam penyerbukan di alam menurut Elisa (2004) penyerbukan dapat dibedakan menjadi:

1.Penyerbukan tertutup (kleistogami)
Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama. Dapat disebabkan oleh:
• Putik dan serbuk sari masak sebelum terjadinya anthesis (bunga mekar)
• Konstruksi bunga menghalangi terjadinya penyerbukan silang (dari luar), misalnya pada bunga dengan kelopak besar dan menutup. Contoh : familia Papilionaceae
2.Penyerbukan terbuka (kasmogami)
Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda. Hal ini dapat terjadi jika putik dan serbuk sari masak setelah terjadinya anthesis (bunga mekar)
Beberapa tipe penyerbukan terbuka yang mungkin terjadi :
a. Autogamie: putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama
b. Geitonogamie: putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda, dalam pohon yg sama
c. Allogamie (Silang): putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg sejenis
d.Xenogamie (asing): putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg tidak sejenis
Beberapa tipe bunga yang memungkinkan terjadinya penyerbukan terbuka :
a. Dikogami
Putik dan benang sari masak dalam waktu yang tidak bersamaan.
•Protandri : benang sari lebih dahulu masak daripada putik
•Protogini : putik lebih dahulu masak daripada benang sari
b. Herkogami
Bunga yang berbentuk sedemikian rupa hingga penyerbukan sendiri tidak dapat terjadi. Misal Panili yang memiliki kepala putik yang tertutup selaput (rostellum).
c. Heterostili
Bunga memiliki tangkai putik (stylus) dan tangkai sari (filamentum) yg tidak sama pan-jangnya
• tangkai putik pendek (microstylus) dan tangkai sari panjang
•tangkai putik panjang (macrostylus) dan tangkai sari pendek

Tanaman yang mempunyai nilai strategis yang sangat penting, pada umumnya, tidak mempunyai masalah dalam penyerbukan, misalnya tanaman pangan (Padi, Jagung, Palawija dan kedelai). Pada umumnya tanaman tersebut bersifat self fertile, artinya menghasilkan tepung sari yang subur demikian juga putiknya. Jenis bunga tanaman pangan seperti padi, kedelai dan kacang hijau adalah sempurna, yaitu dalam sekuntum bunga terdapat bunga jantan (stamen) dan bunga betina (pistil). Hal tersebut memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri (self pollination). Di sisi lain, sekelompok tanaman yang pada umumnya tanaman buah-buahan tahunan bersifat self infertile. Ketidaksuburan tepung sari maupun ketidaknormalan putik menyebabkan permasalahan dalam proses penyerbukan maupun pembuahannya (Ashari,2004).
Pada proses penyerbukan, apabila bunga dalam suatu tanaman memiliki tepung sari yang tidak subur maka bunga tersebut memerlukan tepung sari lain yang subur. Ada juga tanaman yang mempunyai bunga sempurna,namun susunan morfologi bunga tidak memungkinkan terjadinya self pollination, misalnya terpisahnya bunga jantan dan bunga betina (salak dan kurma) atau halangan fisik lainnya Dengan demikian, jenis tanaman tersebut memerlukan polinator baik yang alami seperti angin, serangga, atau hewan mamalia maupun manusia untuk memindahkan tepung sari dari kepala sari ke kepala putiknya.
6. Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
Tahap ini diawali dengan pembesaran bakal buah (ovarium), yang diikuti oleh perkem-bangan cadangan makanan (endosperm), dan selanjutnya terjadi perkembangan embryo.
Pembesaran buah merupakan efek dari pembelahan dan pembesaran sel, yang meliputi tiga tahap:
 Tahap pertama :
Terjadi peningkatan penebalan pada pericarp oleh adanya pembelahan sel.
 Tahap kedua :
Terjadi pembentukan dan pembesaran vesikel berair (juice vesicle); biasanya terjadi pada buah-buah fleshy
 Tahap ketiga :
Tahap pematangan, biasanya terjadi pengkerutan jaringan dan pengerasan endocarp pada buah-buah dry
Selama tahap-tahap ini terjadi pula akumulasi air dan gula, hingga pada tahap ketiga buah telah mengandung 80-90% air dan 2-10-20% gula.

Contoh : Tahap perkembangan organ reproduksi E. pellita (Ratnaningrum, 2001)

Tahap perkembangan Waktu
Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga
Tahap 1 Diferensiasi tunas reproduktif membentuk tangkai dan kuncup perbungaan 29 hari
Tahap 2 Pembesaran dan pembengkakan kuncup ke ukuran maksimal 17 hari
Tahap 3 Gugurnya selubung kuncup, sehingga terbentuklan perbungaan dengan 7 bunga tunggal 12 hari

Phase 2: Perkembangan bunga menuju anthesis
Tahap 1 Gugurnya selubung outer operculum 39 hari
Tahap 2 Pembengkakan bunga menuju ukuran maksimal 25 hari
Tahap 3 Perubahan warna dari hijau menjadi kuning terang 23 hari
Tahap 4 Anthesis terjadi karena terbukanya outer operculum 5 jam

Phase 3: Penyerbukan dan pembuahan
Tahap 1 Proses perkembangan dari anthesis menuju bunga terserbuki 5 hari
Tahap 2 Perubahan morfologis dari struktur bunga menjadi buah muda 19 hari

Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
Tahap 1 Pembesaran buah muda menuju ukuran maksimal 65 hari
Tahap 2 Perkembangan buah menuju kemasakan dan penyebaran biji 63 hari

T O T A L 302 hari


1a 1b 1c 1d


1e 1f 1g 1h

Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga

2a 2b 2c

2d 2e

2f 2g

2h 2I

2j 2k

Phase 2 : perkembangan bunga menuju anthesis

3a 3b 3c 3d

Phase 3 : Penyerbukan dan pembuahan


4a 4b


4c 4d 4e

Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
2.3.1 Faktor yang berpengaruh pada fase reproduktif
Pembungaan pada tanaman berkayu adalah proses sangat kompleks yang meliputi ba-nyak tahapan perkembangan. Karena sifatnya yang perenial (berumur panjang/menahun), po-hon harus berinteraksi dengan kondisi lingkungan setiap waktu sepanjang tahun, dan pem-bungaan biasanya dihubungkan dengan perubahan iklim.
Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor be-sar, yaitu faktor eksternal (lingkungan) dan internal.

1. Faktor eksternal (lingkungan)
 Suhu
 Cahaya
 Kelembaban
 Unsur hara

2. Faktor internal
 Fitohormon
 Genetik

1. Faktor eksternal

Suhu
• Pada spesies temperate dingin, suhu yang relatif tinggi pada musim panas dan awal musim gugur tampaknya dapat merangsang inisiasi bunga. Fungsi suhu di sini adalah mematahkan dormansi kuncup.
• Pada spesies temperate hangat, subtropis dan tropis, pengurangan relatif pada suhu justru lebih bermanfaat (Matthews, 1963; Jackson dan Sweet, 1972; Menzel, 1983; Owens dan Blake, 1985; Southwick dan Davenport, 1986). Pada apokat suhu optimal untuk perkembangan bunga adalah 25oC. Jika tanaman ditempatkan pada suhu 33oC sepanjang siang hari, selanjutnya akan terjadi penghambatan perkembangan bunga pada tahap diferensiasi tepung sari (Sedgley dkk, 1985b). Pada Acacia pycnantha suhu di atas 19oC menghambat baik mikrosporogenesis maupun makrosporogenesis (Sedgley, 1985a). Pada jeruk, suhu di atas 30oC dilaporkan telah merusak perkembangan kuncup bunga (Moss, 1969).
• Suhu rendah menstimulir terjadinya perubahan pola pembelahan meristem, dari apikal menjadi lateral. Penempatan tanaman pada suhu rendah adalah penting untuk induksi dan inisiasi bunga dengan kebutuhan sekitar 300 jam pada 1,2oC (Amling dan Amling, 1983).
• Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga dan melangsungkan proses pembungaan.
• Selisih antara suhu max di siang hari dengan suhu min di malam hari akan mempengaruhi proses terbentuknya bunga: selisih yang besar akan mempercepat terjadinya pembungaan. Namun fluktuasi suhu yang terlalu besar dapat mengacaukan meiosis pada kuncup yang sedang berkembang pada tanaman larch, yang berakibat pada penurunan fertilitas biji (Barner dan Christiansen, 1960).
• Suhu tinggi akan meningkatkan aktivitas metabolik dalam tubuh tanaman: fotosintesis, asimilasi, dan akumulasi makanan untuk mensuplai energi pembungaan
Curah hujan/kelembaban
• Stres air dapat memacu inisiasi bunga, terutama pada tanaman pohon tropis dan subtropis seperti leci dan jeruk (Menzel, 1983; Southwick dan Davenport, 1986). Pembungaan melimpah pada tanaman kayu tropis genus Shorea juga telah dihubungkan dengan terjadinya kekeringan pada periode sebelumnya (Burgess, 1972). Namun, hasil yang berlawanan telah teramati pada spesies iklim-sedang seperti pinus, apel dan zaitun.
• Kebanyakan pembungaan di daerah tropis terjadi saat transisi dari musim hujan menuju kemarau
• Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya → pertumbuhan vegetatif lebih dominan
• Transisi menuju kemarau berhubungan dengan meningkatnya intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu udara → meningkatnya aktivitas metabolik pada tanaman
• Pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah
• Air dan nitrogen melimpah → titik tumbuh apikal aktif → pertumbuhan vegetatif dominan
• Kandungan air menurun → suhu dalam tanah meningkat → aktivitas meristem apikal menurun → terjadi mobilisasi energi dan cadangan makanan untuk membentuk meristem lateral

Cahaya
Cahaya mempengaruhi pembungaan melalui dua cara, yaitu intensitas cahaya dan fotoperi-odisitas (panjang hari).
1. Intensitas Cahaya
 Berhubungan dengan tingkat fotosintesis: sumber energi bagi proses pembungaan
 Intensitas cahaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan efeknya lebih konsisten dari pada panjang hari. Pengurangan intensitas cahaya akan mengurangi inisiasi bunga pada banyak spesies pohon (Matthews, 1963; Cain, 1971; Jackson dan Sweet, 1972; Puritch dan Vyse, 1972; Tromp, 1984; Sedgley, 1985a).
 Peningkatan cahaya harian rata-rata telah dihubungkan dengan pembungaan yang melimpah pada dipterokarpa di Malaysia (Ng, 1977), dan menejemen kanopi pada pohon apel untuk memaksimalkan penetrasi cahaya dapat memberikan efek yang serupa (Barritt dkk, 1987). Kuncup bunga lebih banyak terbentuk pada ujung cabang/ranting yang mendapatkan cahaya matahari penuh.
 Pada spesies monoesi dan dioesi, yang hanya mempunyai bunga-bunga berkelamin-satu (single-sex), intensitas cahaya dapat memberikan efek yang berbeda pada inisiasi bunga betina dan jantan. Intensitas cahaya yang tinggi merangsang inisiasi bunga betina pada walnut dan pinus, sedangkan intensitas cahaya yang rendah, yang biasanya disebabkan oleh naungan kanopi, lebih merangsang terbentuknya bunga jantan (Matthews, 1963; Giertych, 1977; Ryugo dkk, 1980, 1985).
 Giertych (1977) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dapat memacu pembungaan pada pinus dengan cara meningkatkan suhu dalam primordia.
2. Fotoperiodisitas (panjang hari)
 Merupakan perbandingan antara lamanya waktu siang dan malam hari
 Di daerah tropis panjang siang dan malam hampir sama. Makin jauh dari equator (garis lintang besar), perbedaan antara panjang siang dan malam hari juga makin besar
 Misalnya pada garis 60o LU:
Musim panas: siang hari hampir 19 jam, malam hari 5 jam
Musim dingin: siang hari hanya 6 jam, malam hari 18 jam
 Sehubungan dengan fotoperiodisitas tersebut, pada daerah-daerah 4 musim, tanaman dapat dibedakan menjadi:
• Tanaman berhari pendek
• Tanaman berhari panjang
• Tanaman yang butuh hari pendek untuk mengawali pembungaannya, namun selanjutnya butuh hari panjang untuk melanjutkan proses pembungaan itu
• Tanaman yang dapat berbunga setiap waktu
• Pada Picea glauca, pematahan sinar infra merah pada malam hari akan menghambat pembentukan kon betina, yang mengindikasikan bahwa pembungaan merupakan pengaruh dari hari-pendek (short-day) (Durzan dkk, 1979), dan pengaruh serupa telah teramati pada sejumlah spesies Pinus (Longman, 1961; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Slee, 1977; Greenwood, 1978).
• Aplikasi hari-pendek dengan penyinaran selama 8 jam akan meningkatkan inisiasi bunga pada Rhododendron (Criley, 1969). Pengaruh hari-pendek direncanakan untuk diaplikasikan pada spesies pohon temperate, mengingat bahwa inisiasi bunga secara normal terjadi pada musim gugur seiring dengan berkurangnya panjang hari.
• Namun demikian, pembentukan kuncup bunga pada apel lebih berhasil dilakukan pada 14 jam penyinaran dibandingkan dengan 8 jam, yang mengindikasikan bahwa pada tanaman ini panjang hari di musim panas memberikan hasil yang berbeda nyata (Tromp, 1984). Pada Hibiscus syriacus subtropis, pembungaan tampaknya juga merupakan pengaruh hari-panjang (long-day) (Salisbury, 1982).

Unsur hara
• Keberadaan unsur hara dalam tanah berhubungan dengan ketersediaan suplai energi dan bahan pembangun bagi proses pembentukan dan perkembangan bunga.
1. Carbon/protein ratio
 Kuncup bunga terbentuk setelah tanaman mencapai keseimbangan carbon/protein
 Hal ini berhubungan dengan kemampuan tanaman untuk melakukan asimilasi, akumulasi makanan, dan alokasi/distribusi hasil asimilasi
 Panjang tunas merupakan faktor penting pada inisiasi bunga pecan. Tunas yang lebih panjang mampu memproduksi lebih banyak bunga secara konsisten dan membentuk lebih banyak polong, dibanding tunas yang lebih pendek yang telah berbunga dan berbuah pada tahun sebelumnya (Malstrom dan McMeans, 1982). Efek ini mungkin berhubungan dengan peningkatan cadangan makanan pada tunas yang lebih panjang.
2. carbon/nitrogen ratio
 Carbon sebagian besar diperoleh dari mobilisasi cadangan makanan dan hasil fotosintesis
 Konsentrasi carbon yang tinggi menentukan ketersediaan energi dan akumulasi makanan untuk pembentukan bunga
 Nitrogen → Dampak positif: ekspansi percabangan,
Dampak negatif: memacu pertumbuhan vegetatif
• Secara umum, aplikasi pupuk terutama nitrogen meningkatkan pembungaan pada sebagian besar tanaman pohon (Sarvas, 1962; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Pederick dan Brown, 1976; Weinbaum dkk, 1980; Edwards, 1986).

3. Faktor Internal

Fitohormon
• Auxin
 Merupakan respon terhadap cahaya
 Disintesis di jaringan meristematik apikal (ujung)
 Menstimulir terjadinya pembelahan pada meristem apikal → mempengaruhi proses perpanjangan ujung tanaman
• Ethylene
 Disintesis oleh daun
 Diransfer ke tunas lateral → memulai proses induksi bunga
• Cytokinin
 Disintesis pada jaringan endosperm, ujung akar, dan xylem
 Ditransfer ke daun melalui jaringan xylem
 Berfungsi untuk meningkatkan energi metabolisme → ditransfer untuk membentuk kuncup-kuncup bunga
 Mengendalikan proses translokasi → menjamin ketersediaan energi untuk pembungaan
 Mematahkan dominansi apikal.
 Berperan dalam memacu inisiasi bunga (Ramirez dan Hoad, 1978; Oslund dan Davenport, 1987) dan dijumpai pada level lebih tinggi pada akar Douglas-fir yang sedang berbunga, dibanding pohon yang tidak berbunga (Bonnett-Massimbert dan Zaerr, 1987).
• Gibberellin
 Disintesis pada primordia akar dan batang
 Ditranslokasikan pada xylem dan floem
 Menstimulir proses perpanjangan internodia dan buku-buku pada batang
 Asam giberelik mempunyai efek penghambatan yang sangat kuat terhadap pembungaan berbagai pohon angisperma termasuk tanaman-tanaman buah temperate, rhododendron, jeruk dan mangga (Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Guardiola dkk, 1982; Tomer, 1984). Pada Citrus sinensis, GA3 dapat menyebabkan kuncup-kuncup dorman yang sesungguhnya potensial berbunga kembali sepenuhnya ke tingkat vegetatif, sampai tiba waktunya pembentukan kelopak bunga (Lord dan Eckard, 1987). Luckwill (1980) telah memperkenalkan sebuah model yang melibatkan giberelin pada pengendalian inisiasi bunga apel secara hormonal. Giberelin yang dihasilkan oleh biji-biji yang sedang berkembang dalam buah muda diduga telah menghambat pembentukan bunga, dan dengan demikian mengurangi pembungaan pada musim semi berikutnya.
 Pada umumnya, zat penghambat-tumbuh, seperti Chlormequat Cycocel; (2-cloroethyl)trimethylammonium chloride, Alar dan TIBA (tri-iodobenzoic acid), mengurangi pertumbuhan vegetatif dan memacu pembungaan pada spesies pohon angiosperma (Cathey, 1964; Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Ramirez dan Hoad, 1984; Embree dkk, 1987).
 Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosistesis giberelin, yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Edgerton, 1985; Steffens dan Wang, 1985; Tukey, 1985; Bargioni dkk, 1986; Webster dkk, 1986; Embree dkk, 1987).
 Gimnosperma tampaknya memberikan reaksi yang berbeda. Penghambat pertumbuhan telah meningkatkan pembungaan pada spruce Norwegia, namun hal ini tidak berlaku pada spesies konifer (Owens dan Blake, 1985; Bonnet-Massimbert dan Zaerr, 1987). Sebaliknya, Giberelin akan memacu pembungaan pada banyak gimnosperma termasuk Cryptomeria, Cupressus, Thuja, Thujopsis, Juniperus, Metasequoia, Taxodium, Chamaecyparis, Sequoia, Larix, Picea, Pinus, Pseudotsuga dan Tsuga (Hashizume, 1959; Matthews, 1963; Greenwood, 1977; Pharis dan Kuo, 1977; Owens dan Blake, 1985).
 Penelitian terbaru telah memunculkan dugaan bahwa tipe giberelin mungkin merupakan faktor penting dalam respon fisiologis pada tanaman. Dengan demikian aspek pengaruh giberelin pada pembungaan tanaman berkayu menahun atau perenial membutuhkan pengamatan lebih lanjut, mengingat minimnya metode deteksi dan produksi giberelin saat ini.




























Genetik
Fase besar dalam siklus hidup tanaman, yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif, banyak dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang merupakan kontrol genetik.
Fase vegetatif atau juvenil adalah interval waktu selama tanaman tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada spesies dan kondisi lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Lamanya periode juvenil lebih dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986 dalam Griffin dan Sedgley, 1989) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949 dalam Griffin dan Sedgley, 1989), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat dihubungkan dengan fase juvenil ini; seperti pembentukan duri pada jeruk, pesatnya pertumbuhan meninggi pada larch dan jeruk, susunan daun pada pistachio, bulu-bulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks, 1986; Greenwood, 1987 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Fase juvenil diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal. Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman. Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses pertumbuhan.
Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta, mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga.
Fase reproduktif adalah masa ketika tanaman telah mampu membentuk organ-organ reproduksi dan melangsungkan proses reproduksi untuk membentuk biji. Fase ini terjadi setelah pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga), yang ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai membentuk meristem lateral. Tanaman memasuki fase reproduktif setelah tercapainya suatu karakter genetik yang disebut size effect dan endogenous timing. Size effect adalah ukuran tertentu yang berhubungan dengan kemampuan tanaman mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan. Endogenous timing adalah umur tertentu yang secara genetis berhubungan dengan kesiapannya untuk berbunga.
2.4 Vernalisasi
Pada tahun 1920-an, para ahli sains dari Departemen Pertanian A.S. yang melakukan penelitian di Beltsville, Maryland mulai meneliti aktivitas pembungaan pada tumbuhan. Me-reka mulai menyadari bahwa pembungaan dimulai oleh panjang siang. Setelah menanam tumbuhan dalam rumah tanaman, tempat fotokalanya dapat diubah secara buatan, mereka membuat kesimpulan bahwa tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga kumpulan :
Tumbuhan pendek siang- berbunga apabila fotokalanya lebih pendek daripada panjang genting. (Contoh yang baik ialah pohon cocklebur, pohon merah (poinsetia, kekwa). Tumbuhan panjang siang- berbunga apabila fotokalanya lebih panjang daripada suatu panjang genting. (Contoh yang baik ialah gandum, barli, bunga cengkih, bayam).
Tumbuhan neutral siang- pembungaan tidak bergantung kepada suatu fotokala. (Contoh yang baik ialah tomat dan timun). Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk perbungaan, tetapi diperlukan pula oleh biji-biji tumbuhan tertentu sebelum perkecam-bahan. Respon terhadap suhu dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu pembungaan akan terjadi atau pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode dingin haruslah beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung sepesiesnya. Spesies semusim pada musim dingin, dua tahunan, dan banyak spesies tahunan dari daerah beriklim sedang yang membutuhkan verna-lisasi semacam itu agar berbunga. Biji, umbi, dan kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim sedang membutuhkan stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam penyimpanan yang dingin dan lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi vernalisasi secara harfiah berarti membuat suatu keadaan tumbuhan seperti musim semi, yaitu menggalakkan pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang panjang selama musim semi (Gardner,dkk, 1991).
Seterusnya kita harus mengambil perhatian bahwa suatu tumbuhan panjang siang dan pendek siang dapat mempunyai panjang hari genting yang sama. Bayam merupakan suatu tumbuhan panjang siang yang mempunyai panjang genting selama empat belas jam, rumput reja merupakan suatu tumbuhan pendek siang dan mempunyai panjang genting yang sama. Walau bagaimanapun, bayam hanya berbunga pada musim panas apabila panjang siang me-ningkat sehingga empat belas jam atau lebih, dan rumput reja berbunga pada musim gugur apabila panjang siangnya berkurang hingga empat belas jam atau kurang. (Rumput reja harus menjadi matang sebelum dapat berbunga, sebab itulah tumbuhan ini tidak berbunga pada mu-sim bunga walaupun panjang siangnya kurang daripada empat belas jam).
Pada tahun 1938, K. C. Hammer dan J. Bonner memulai eksperimen dengan panjang siang dan malam buatan yang tidak perlu sama dengan suatu normal, yaitu siang dua puluh empat jam. Mereka kemudian berpendapat bahwa cocklebur yang merupakan tumbuhan pen-dek siang akan berbunga pada waktu gelapnya berterusan selama delapan setengah jam, tanpa memperkirakan panjang waktu siang. Selanjutnya, jika waktu gelap ini diganggu untuk seke-tika oleh pancaran cahaya, maka pohon cocklebur tidak akan berbunga. ( Mengganggu pan-jang waktu penyinaran dengan kegelapan tidak memiliki arti ). Keputusan yang sama juga telah diperoleh bagi tumbuhan panjang siang. Tumbuhan tersebut memerlukan suatu waktu gelap yang lebih pendek daripada suatu panjang genting tanpa memperhitungkan panjang waktu pencahayaan. Walau bagaimanapun, jika suatu malam yang lebih panjang dari panjang genting diganggu oleh suatu pancaran cahaya yang sekejap, maka tumbuhan siang panjang akan berbunga. Dengan demikian, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa panjang waktu gelap yang mengakibatkan pembungaan, bukannya panjang waktu pencahayaan. Dalam keadaan alami, jelaslah siang yang lebih pendek senantiasa berfungsi dengan malam yang lebih pan-jang, dan begitulah sebaliknya.
Pada jurnal, untuk tanaman photoperiod sensitif, untuk menaggapi stimulus bunga in-duktif, daun perlu kompeten dan menghasilkan stimulus bunga dan meristem harus memiliki kemampuan untuk merespon rangsangan tersebut. Jarak antara meristem apikal dan akar me-rupakan faktor yang mengatur saat inisiasi bunga terjadi di bawah kondisi induktif Ribes ni-grum L. Nicotiana tabacum L. (Schwabe dan Al-Doori, 1973; McDaniel, 1980).
2.4.1. letak Vernalisasi
Bukti-bukti bahwa rangsanagan dingin dihasilkan di dalam meristem atau kuncup dan bukan didalam daun diperoleh dari empat fenomena:
1. Biji yang telah mengalami imbibisi mudah divernalisasi
2. Pengenaan suhu dingin hanya pada daun, akar, atau batang tidak efektif.
3. Biji yang sedang berkembang pada tanaman induk dapat dan seringkali sudah terver-nalisasi apabila tepat pada waktu suhu dingin berlangsung sebelum biji menjadi kering.
4. Tanaman yang ditanam dari kuncup liar suatu daun yang sudah tervernalisasi telah tergalakkan untuk berbunga (Gardner,dkk, 1991).

2.4.2 Hilangnya Vernalisasi
Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35̊C) selama periode beberapa hari. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lysenko di Uni soviet, mengenai biji serealia musim dingin yang diver-nalisasi dan dipertahankan biji dalam keadaan kering menyebabkan proses devernalisasi (penghilangan vernalisasi). Percobaan yang dilakukan Lysenko itu tidak berlaku di mana saja, mungkin karena telah tersedia kultivar tipe musim semi yang teradaptasi.
Vernalisasi pada rumput-rumputan tahunan tertentu, ternyata lebih kompleks, selain dingin, juga diperlukan beberapa fotoperiode pendek. Contohnya pada rumput orchard, penggalakan pembungaan terjadi secara alamiah, dan diperlukan suhu ingin untuk mengga-lakkan pembungaan pada sepesies-sepesies tersebut (Gardner,dkk, 1991).

2.4.3 Interaksi Vernalisasi dengan faktor lain
Chailakhyan menyatakan bahwa hanya tumbuhan di daerah temperatur yang menga-lami musim dingin, dapat kita harapkan memerlukan vernalisasi, dan ini adalah tumbuhan hari panjang (LPD). Tumbuhan hari pendek biasanya berada di daerah subtropis.
Ada sebuah interaksi yang ganjil pada Petkus rye (secale cereale), kebutuhan akan vernalisasi dapat digantikan dengan perlakuan hari pendek (short day), tetapi apabila tanaman ini telah memperoleh vernalisasi, dia memerlukan induksi hari panjang untuk pembungaannya. Sama halnya dengan Hyoscyamus niger memerlukan vernalisasi apabila dalam tahap roset dan perbungaan akan terjadi hanya pada hari panjang.

2.4.4 Organ Penerima Rangsangan Vernalisasi
Organ tumbuhan yang dapat menerima rangsangan vernalisasi sangat bervariasi yaitu biji, akar, embrio, pucuk batang. Apabila daun tumbuhan yang memerlukan vernalisasi men-dapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihangatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi).
Vernalisasi merupakan suatu proses yang kompleks yang terdiri dari beberapa proses. Pada Secale cereale, vernalisasi pada tanaman ini terjadi di dalam biji dan semua jaringan yang dihasilkannya berasal dari meristem yang tervernalisasi. Pada Chrysantheum, vernalisasi hanya dapat terjadi pada meristemnya.
Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut verna-lin, yaitu suatu hormon hipotesis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Di dalam hal perbungaan GA dapat mengganti fungsi vernalin, meskipun GA tidak sama dengan vernalin. Pada H. Niger, pemberian GA dapat menggantikan vernalisasi:
Tumbuhan roset GA vegetatif berbunga
Tumbuhan roset vernalisasi berbunga

Menurut hipotesis Chailkhyan, hal tersebut dapat terjadi sebagai berikut:
Pada tumbuhan hari panjang, apabila mengalami vernalisasi akan menghasilkan vernalin, dan pabila selanjutnya memperoleh induksi hari panjang, vernalin akan diubah menjadi giberelin. Giberelin dengan antesin yang sudah tersedia pada tumbuhan hari panjang akan menghasilkan perbungaan. Jadi vernalisasi adalah suatu proses yang aerob, tidak akan terjadi vernalisasi kalau atmosfirnya diganti dengan Nitrogen. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin (Sasmitamihardja, dkk, 1996).
Dalam jurnal kita dapat mengidentifikasi 3 fase perkembangan yaitu fase pra induktif (Juvenil), induktif dan pacsa induktif (Roberts et al 1986). Fase pra induktif tidak sensitif ter-hadap photoperiod, fase induktif tanaman sensitif terhadap photoperiod dan fase pacsa induktif periode photoperiod insensitive selama bunga berkembang. Dengan demikian, jelas bahwa setidaknya empat fase perkembangan perlu dibedakan dalam percobaan mentransfer timbal balik: (1) photoperiod-insensitive fase remaja; (2) photoperiod-sensitif fase induktif, berakhir pada komitmen bunga; (3) photoperiod-sensitif bunga tahap pengembangan, dan (4) photoperiod-insensitive bunga fase pertumbuhan. Suhu optimum yang digunakan ialah 21 derajat celsius. Namun, pendekatan analitis mengasumsikan tanaman sama-sama sensitif terhadap photoperiod selama induksi bunga dan fase awal pembangunan bunga; pengembangan lebih lanjut akan diperlukan untuk memungkinkan analisis transfer data timbal balik dari tanaman dengan tanggapan yang berbeda photoperiod, terutama mereka dengan persyaratan photoperiod ganda.

















BAB III
KESIMPULAN

Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran atau panjang pendeknya hari yang dapat merangsang pembungaan. Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pem-bungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.
Penyelidikan sebenarnya telah menunjukkan bahwa panjang gelaplah yang penting, meng-ganggu waktu gelap dengan adanya cahaya dapat menghalangi pembungaan pada tumbuhan hari pendek.
Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35C). Apabila daun tumbuhan yang me-merlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihan-gatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi). Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut vernalin, yaitu suatu hormon hipote-sis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin.







DAFTAR PUSTAKA

Silvia S.Mader. 1995. Biologi, Evolusi, Keanekaragaman dan Lingkungan. Malaysia : Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Riana yani,dkk. 2003. Biologi SMU kelas II, Bandung : Remaja RosdaKarya.
Steven R.Adams, Simon Pearson, Paul Hadley. 2000. Improving quantitative flowering models through a better understanding of the phases of photoperiod sensitivity. Oxford journals ofExperimental Botany vol 52 issue 357 Pp 655-662,October 20, 2000.
Putra, dkk., 2010, Fotoperiodisme dan Vernalisasi, http://rikiharyanto.blogspot.com/
Sanusi, A., 2009, Respon Tanaman Terhadap Penyinaran. http://sanoesi.wordpress.com/about/

Fisiologi Tanaman - Etilen dan Asam Absisat

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah sel, tinggi, dll yang sifatnya irreversible atau tidak dapat kembali ke keadaan semula. Sedangkan perkembangan adalah proses menuju ke arah kedewasaan yang sifatnya adalah reversible atau dapat kembali ke keadaan semula.
Pertumbuhan dan perkembangan tejadi pada seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, baik itu manusia, hewan, dan tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan adalah salah satu yang paling mudah untuk diamati (observasi) guna mengetahui apa itu pertumbuhan dan perkembangan beserta faktor-faktor yang mempengaruhi, pertumbuhan maupun perkembangan tersebut.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, hormon berperan sangat penting. Namun, tidak semua hormon yang terdapat pada tumbuhan tidak selalu membantu pertumbuhan. Ada hormon yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui fungsi dan mekanisme kerja hormon etile
2. Untuk mengetahui fungsi dan mekanisme kerja hormon ABA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etilen
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh (C2H4) yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian.
Selain itu, etilen merupakan :
- Dalam keadaan normal, etilen akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali.
- Di alam etilen akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman.
- Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik.
- Mempengaruhi perombakan klorofil
- Mulai aktif dari 0,1 ppm (ambang batas/threshold)
- Dihasilkan jaringan tanaman hidup pada saat tertentu
- Merupakan homon (dihasilkan tanaman, bersifat mobil, senyawa organik) proses pematangan
Hubungan etilen dalam pematangan buah:
Pematangan adalah permulaan proses kelayuan ,organisasi sel terganggu, dimana enzim bercampur, sehingga terjadi hidrolisa, yaitu pemecahan klorofil, pati, pektin dan tanin, membentuk: etilen, pigmen, flavor, energi dan polipeptida.
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Etilen
1. Suhu. Suhu tinggi (>350C) tidak terjadi pembentukan etilen. Suhu optimum pembentukan etilen (tomat,apel) 320C, sedangkan untuk buah-buahan yang lain lebih rendah.
2. Luka mekanis dan infeksi. Buah pecah, memar, dimakan dan jadi sarang ulat
3. Sinar radioaktif
4. Adanya O2 dan CO2. Bila O2 diturunkan dan CO2 dinaikkan maka proses pematangan terhambat. Dan bila keadaan anaerob tidak terjadi pembentukan etilen
5. Interaksi dengan hormon auxin. Apabila konsentrasi auxin meningkat maka etilen juga akan meningkat
6. Tingkat kematangan
Etilen dapat mempercepat terjadinya klimaterik:
- Alpukat yang disimpan pada udara biasa akan matang setelah 11 hari
- Bila etilen tersedia 10 ppm selama 24 jam, maka buah akan matang pada hari keenam
2.3 Mekanisme Kerja Etilen
Proses sintesis protein terjadi pada proses pematangan secara alami atau hormonal, dimana protein disintesis secepat dalam proses pematangan. Pematangan buah dan sintesis protein terhambat oleh siklohexamin pada permulaan fase klimatoris setelah siklohexamin hilang, maka sintesis etilen tidak mengalami hambatan. Sintesis ribonukleat juga diperlukan dalam proses pematangan. Etilen akan mempertinggi sintesis RNA pada buah mangga yang hijau.
Etilen dapat juga terbentuk karena adanya aktivitas auksin dan etilen mampu menghilangkan aktivitas auksin karena etilen dapat merusak polaritas sel transport, pada kondisi anearobpembentukan etilen terhambat, selain suhu O2 juga berpengaruh pada pembentukan etilen. Laju pembentukan etilen semakin menurun pada suhu di atas 30 0 C dan berhenti pada suhu 40 0 C, sehingga pada penyimpanan buah secara masal dengan kondisi anaerob akan merangsang pembentukan etilen oleh buah tersebut. Etilen yang diproduksi oleh setiap buah memberi efek komulatif dan merangsang buah lain untuk matang lebih cepat.
Buah berdasarkan kandungan amilumnya, dibedakan menjadi buah klimaterik dan buahnonklimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang, mangga, apel dan alpokat yang dapat dipacu kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan buah yang diperam. Buah nonklimaterik adalah buah yang kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas. Pemberian etilen pada jenis buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak dapat memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah.
Perubahan fisiologi yang terjadi sealam proses pematangan adalah terjadinya proses respirasi kliamterik, diduga dalam proses pematangan oleh etilen mempengaruhi respirasi klimaterik melalui dua cara, yaitu:
1. Etilen mempengaruhi permeabilitas membran, sehingga permeabilitas sel menjadi besar, hal tersebut mengakibatkan proses pelunakan sehingga metabolisme respirasi dipercepat.
2. Selama klimaterik, kandungan protein meningkat dan diduga etilen lebih merangsang sintesis protein pada saat itu. Protein yang terbentuk akan terlihat dalam proses pematangan dan proses klimaterik mengalami peningkatan enzim-enzim respirasi.

2.4 Pengaruh Buruk Etilen Terhadap Tanaman
Pengaruh penting etilen dalam meningkatkan deteriorasi komoditi yang mudah rusak meliputi:
a. Mempercepat senensen dan menghilangkan warna hijau pada buah seperti mentimun dan sayuran daun
b. Mempercepat pemasakan buah selama penanganan dan penyimpanan
c. “Russet spoting” pada selada
d. Pembentukan rasa pahit pada wortel
e. Pertunasan kentang
f. Gugurnya daun (kol bunga, kubis, tanaman hias)
g. Pengerasan pada asparagus
h. Mempersingkat masa simpan dan mengurangi kualitas bunga
i. Gangguan fisiologis pada tanaman umbi lapis yang berbunga
j. Pengurangan masa simpan buah dan sayuran
2.5 Asam Absisat
Asam absisat adalah molekul seskuiterpenoid (memiliki 15 atom karbon) yang merupakan salah satu hormon tumbuhan. Selain dihasilkan secara alami oleh oleh tumbuhan, hormon ini juga dihasilkan oleh alga hijau dan cendawan. Hormon ini ditemukan pada tahun 1963 oleh Frederick Addicott. Addicott berhasil mengisolasi senyawa abscisin I dan II dari tumbuhan kapas. Senyawa abscisin II kelak disebut dengan asam absisat, disingkat ABA. Pada saat yang bersamaan, dua kelompok peneliti lain yang masing-masing dipimpin oleh Philip Wareing dan Van Steveninck juga melakukan penelitian terhadap hormon tersebut.
Asam absisat berperan penting pemulaian (inisiasi) dormansi biji. Dalam keadaan dorman atau "istirahat", tidak terjadi pertumbuhan dan aktivitas fisiologis berhenti sementara. Proses dormansi biji ini penting untuk menjaga agar biji tidak berkecambah sebelum waktu yang tidak dikehendaki. Hal ini terutama sangat dibutuhkan pada tumbuhan tahunan dan tumbuhan dwimusim yang bijinya memerlukan cadangan makanan di musim dingin ataupun musim panas panjang. Tumbuhan menghasilkan ABA untuk maturasi biji dan menjaga biji agar berkecambah di musim yang diinginkan.
ABA juga sangat penting untuk menghadapi kondisi cekaman lingkungan, seperti kekeringan. Hormon ini merangsang penutupan stomata pada epidermis daun dengan menurunkan tekanan osmotik dalam sel dan menyebabkan turgor sel. Akibatnya, kehilangan cairan tanaman yang disebabkan oleh transpirasi melalui stomata dapat dicegah. ABA juga mencegah kehilangan air dari tubuh tumbuhan dengan membentuk lapisanepikutikula atau lapisan lilin. Selain itu, ABA juga dapat menstimulasi pengambilan air melalui akar. Selain untuk menghadapi kekeringan, ABA juga berfungsi dalam menghadapi lingkungan dengan suhu rendah dan kadar garam atau salinitas yang tinggi. Peningkatan konsentrasi ABA pada daun dapat diinduksi oleh konsentrasi garam yang tinggi pada akar. Dalam menghadapi musim dingin, ABA akan menghentikan pertumbuhan primer dan sekunder. Hormon yang dihasilkan pada tunas terminal ini akan memperlambat pertumbuhan dan memicu perkembangan primordia daun menjadi sisik yang berfungsi melindungi tunas dorman selama musim dingin. ABA juga akan menghambat pembelahan sel kambium pembuluh.
Asam absisat merupakan hormon yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (inhibitor) yaitu bekerja berlawanan dengan hormon auksin dan giberelin dengan jalan mengurangi atau memperlambat kecepatan pembelahan dan pembesaran sel. Asam absisat akan aktif pada saat tumbuhan berada pada kondisi yang kurang baik, seperti pada musim dingin, musim kering, dan musim gugur. Mengapa asam absisat justru berperan pada saat tanaman berada dalam kondisi yang kurang baik? Pada saat tumbuhan mengalami kondisi yang kurang baik, misalnya ketika kekurangan air di musim kering, maka tumbuhan tersebut mengalami dormansi yaitu daun-daunnya akan digugurkan dan yang tertinggal adalah tunas-tunasnya. Dalam keadaan demikian asam absisat terkumpul/terakumulasi pada tunas yang terletak pada sel penutup stomata, hal ini menyebabkan stomata menutup, sehingga penguapan air berkurang dan keseimbangan air di dalam tubuh tumbuhan terpelihara sehingga pertumbuhan tunasnya terhambat yang disebabkan melambatnya kecepatan pembelahan dan pembesaran sel-sel tunasnya. Fungsi asam absisat yaitu dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan dan pemanjangan sel pada daerah titik tumbuh, macam pengguguran daun dan mendorong dormansi biji agar tidak berkecambah.
2.6 Biosintesis ABA
Biosintesis ABA dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan karotenoid, suatu pigmen yang dihasilkan oleh kloroplas. Ada dua jalur metabolisme yang dapat ditempuh untuk menghasilkan ABA, yaitu jalur asam mevalonat (MVA) dan jalur metileritritol fosfat (MEP). Secara tidak langsung, ABA dihasilkan dari oksidasi senyawa violaxanthonin menjadi xanthonin yang akan dikonversi menjadi ABA. Sedangkan pada beberapa jenis cendawan patogenik, ABA dihasilkan secara langsung dari molekul isoprenoid C15, yaitu farnesil difosfat.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah sel, tinggi, dll yang sifatnya irreversible atau tidak dapat kembali ke keadaan semula. Sedangkan perkembangan adalah proses menuju ke arah kedewasaan yang sifatnya adalah reversible atau dapat kembali ke keadaan semula.
Pertumbuhan dan perkembangan tejadi pada seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, baik itu manusia, hewan, dan tumbuhan. Pertumbuhan dan perkembangan adalah salah satu yang paling mudah untuk diamati (observasi) guna mengetahui apa itu pertumbuhan dan perkembangan beserta faktor-faktor yang mempengaruhi, pertumbuhan maupun perkembangan tersebut.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, hormon berperan sangat penting. Namun, tidak semua hormon yang terdapat pada tumbuhan tidak selalu membantu pertumbuhan. Ada hormon yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman .


DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2011. Asam Absisat. (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_absisat, diakses pada 17 Desember 2011)
Anonymous. 2011. Mengapa Etilen Sebagai Inhibitor CO2. (Online), (http://Fisiologi/mengapa-etilen-sebagai-inhibitor-co22.htm, diakses pada 17 Desember 2011)
Anonymous. 2011. Fungsi Asam Absisat. (Online), (http://Fungsi%20Asam%20Absisat%20%20%20Biologi%20Kelas%20XII.htm, diakses pada 17 Desember 2011)
Anonymous. 2011. Hormon Asam Absisat. (Online), (http://Hormon%20ABA%20%28Asam%20absisat%29..htm, diakses pada 17 Desember 2011)
Anonymous. 2011. Faktor Internal Pertumbuhan Tanaman. (Online), (http://FAKTOR%20INTERNAL%20PERTUMBUHAN%20TANAMAN%C2%A0 Biologi%20TerLengkap!.htm, diakses pada 17 Desember 2011)

Fisiologi Tanaman - Jam Biologi Dan Auksin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ada semacam alarm yang memperingatkan tanaman untuk mempersiapkan diri menerima cahaya matahari yang panas sehingga mampu memproses makanan bagi tanaman tersebut
Siapa bilang hanya manusia dan hewan saja yang memiliki jam biologis, tanaman pun punya. Ilmuwan Israel bersama Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) telah menemukan bahwa tumbuhan juga mempunyai jam biologis yang bekerja selama 24 jam. Seperti halnya jam biologis pada manusia, sistem ini mampu memberi tahu pohon-pohon kapan waktunya untuk menyambut datangnya matahari.
Jam biologis ini diperbarui pada waktu yang sama di setiap pagi, yakni beberapa jam sebelum memasuki siang hari. Ada semacam alarm yang memperingatkan tanaman untuk mempersiapkan diri menerima cahaya matahari yang panas sehingga mampu memproses makanan bagi tanaman tersebut, demikian Autar K. Mattoo, ahli fisiologi tanaman.

Sistem jam ini juga mengatur kinerja enzim yang memodigikasi protein bernama D1 yang penting bagi sistem fotosintesis. Begitu D1 ini bertemu dengan posporus, maka akan terbentuk protein dalam kloroplas, sebuah struktur dalam sel yang terbuat dari karbohidrat, lemak dan protein. Mattoo berpendapat, protein hasil modifikasi inilah yang selama ini berfungsi sebagai jam biologis tumbuhan sehingga mampu mengatur metabolismenya selama berada di bawah sinar matahari terik.

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang jam biologi yang terjadi pada tanaman
2. Untuk mengetahui hormon-hormon yang bekerja pada tanaman
3. Untuk mengetahui mekanisme jam biologi pada tanaman

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Jam biologis

Jam biologis mengatur irama sirkadian pada tumbuhan dan eukariota lain. Suatu siklus fisiologis dengan frekuensi sekitar 24 jam disebut irama sirkadian. Apakahirama ini benar-benar diatur oleh semua jam internal atau mereka hanya respon harian terhadapsiklus lingkungan seperti rotasi bumi. Irama sirkadian bertahan, bahkan ketika organisme itudilindungi dari petunjuk lingkungan penyebabnya seperti ada tanaman buncis. Hasil penelitiansejauh ini mengungkapkan bahwa osilator untuk irama sirkadian adalah endogenus atauinternal. Jam ini diatur pada periode 24 jam yang tepat melalui sinyal harian dari lingkungan.
Jika suatu organisme dipertahankan pada lingkungan yang konstan, maka sirkadiannyamenyimpang dari periode 24 jam sehingga bisa lebih atau berkurang.
Fotoperiodisme menyelaraskan banyak respon tumbuhan terhadap perubahan musim. Salah satu petunjuk paling awal tumbuhan mendeteksi perkembangan musim berawal darivarietas muatan pada tanaman tembakau. Varietas ini tumbuh luar biasa, namun gagal berbungaselama musim panas. Setelah mencoba menginduksi suhu, kelembaban dan nutrisi. Varitas iniakhirnya berbunga dalam rumah kaca bulan desember. Penelitinya mempelajari bahwapemendekan siang dan malam hari lah yang merangsang varietas ini berbunga. Varietas inidianamkan Maryland Mammoth.
Organisme telah berevolusi untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan siklus siang-malam yang disebabkan oleh disebabkan oleh rotasi bumi. Respon langsung terhadap cahaya atau kegelapan yang penting, tetapi di samping itu, jam biologis telah berevolusi untuk proses waktu biologis. "Sirkadian" ritme (dari 'circa'-tentang,' hari dies'-a) adalah hasil yang terbaik-ditandai dari jam biologis, yang kali peristiwa yang terjadi sekali per hari. Bahkan dalam waktu tidak adanya isyarat lingkungan, irama sirkadian bertahan dengan periode hampir 24 jam. Jam sirkadian mengatur banyak aspek metabolisme, fisiologi dan perilaku.
Mekanisme dari jam sirkadian telah sulit untuk menentukan, sampai identifikasi mutan ritme sirkadian dan gen serumpun mereka di Drosophila, Neurospora dan sekarang dalam organisme lain. Studi molekuler dan genetik menunjukkan bahwa periode 24-jam muncul dari sistem loop umpan balik yang saling berhubungan yang mengontrol transkripsi dari sejumlah kecil "gen jam". Umpan balik negatif, bersama dengan penundaan, pada prinsipnya cukup untuk menghasilkan osilasi; jam sirkadian nyata lebih kompleks, dan itu tetap menjadi tantangan untuk memahami kompleksitas ini. Ritme sirkadian lahiriahnya sangat mirip dalam semua spesies, tetapi gen yang membentuk mekanisme jam yang sangat berbeda (membandingkan hewan, tumbuhan, jamur dan cyanobacteria). Jam mungkin berevolusi beberapa kali untuk melakukan fungsi yang sangat mirip, sehingga mereka adalah contoh dari "evolusi konvergen".
Pada tumbuhan, jam sirkadian mengatur sekitar 5% dari genom (> 1000 gen dalam Arabidopsis). Fungsi ritmis gen ini banyak proses kontrol, termasuk daun dan gerakan kelopak, pembukaan dan penutupan pori-pori stomatal, pembuangan wewangian bunga dan aktivitas metabolis, terutama yang berkaitan dengan fotosintesis. Jam sirkadian juga mempengaruhi siklus musiman yang tergantung pada hari-panjang, termasuk regulasi berbunga.Sistem photoperiodic muncul tergantung pada jam sirkadian untuk mengukur durasi siang atau malam, sehingga pemantauan berlalunya musim.
Arabidopsis thaliana, spesies model untuk genetika tanaman, pameran irama sirkadian terlihat dalam gerakan daun dan irama kurang jelas dalam ekspresi banyak gen, khususnya klorofil a / b gen binding protein (gen CAB). Gen reporter bercahaya, luciferase, telah digunakan untuk memvisualisasikan regulasi ekspresi gen sirkadian, menciptakan ritme cahaya pada tanaman transgenik. Ritme ini dapat dipantau secara bibit tunggal dengan pencitraan cahaya rendah video, yang telah memungkinkan identifikasi mutan ritme sirkadian di Arabidopsis.

2.3 Mekanisme Membuka dan Menutupnya Stomata
Sebagian besar proses transpirasi pada tanaman lewat stomata, stomata bagian terbesar berada pada permukaan bawah daun yang memungkinkan terjadinya pertukaran gas antara yang ada dalam jaringan daun dan di udara. Lubang stomata ini merupakan jalan utama untuk transpirasi, mengingat epidermis bawah dan atas dilapisi oleh lilin sebagai lapisan kutikula yang mengandung bahan lemak dan merupakan penghalang untuk transpirasi.
Membuka dan menutupnya stomata penting bagi proses asimilasi CO2 dan juga keseimbangan air dalam tanaman. Membuka menutupnya stomata tergantung pada perubahan turgor sel penjaga (sel stomata). Turgor yang tinggi menyebabkan stomata membuka sebaliknya turgor yang rendah akan menyebabkan stomata menutup.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa turgor sel penjaga berkaitan dengan metabolisme penyerapan ion, terutama K+. Meningkatnya konsentrasi K+ pada sel penjaga, stomata membuka lebih lebar sebaliknya ketika menutup tidak terjadi akumulasi K+.
Mekanisme membuka menutupnya stomata terutama tergantung pada akumulasi K+ pada sel stomata dan bukan semata-mata oleh adanya hidrolisa amilum menjadi gula sebagaimana dipercaya selama ini, hidrolisa amilum ini hanya faktor sekunder.
Untuk akumulasi K+ ini disediakan sebagian oleh vakuola sel lateral dan sebagian lagi oleh sel epidermis. Akumulasi K+ ini akan berbalik bila stomata menutup, yaitu K+ berakumulasi di sel epidermis. Tidak ada perbedaan electro potential yang menyolok antara setiap sel epidermis dan bagaimanapun keadaan stomata, K+ ditransport secara aktif dan ketika stomata membuka atau menutup memerlukan energi.
Temperatur yang tinggi juga mengakibatkan stomata menutup. Hal ini terkait dengan meningkatnya respirasi dan meningkatnya CO2 dalam kantong stomata. Temperatur yang tinggi berkaitan dengan konsumsi air yang tinggi. Stomata menutup untuk mencegah kehilangan air yang berlebihan. Mekanisme membuka dan menutupnya stomata secara efisien dengan mengatur keseimbangan air dalam tanaman. Fitohormon sitokinin juga berpengaruh terhadap membukanya stomata sedang ABA kebalikannya.

2.1 GERAK PADA TUMBUHAN
Setiap makhluk hidup (organisme) mampu menerima dan menanggapi rangsangan yang disebut IRITABILITAS. Salah satu bentuk tanggapan yang umum dilakukan berupa gerak. Gerak adalah perubahan posisi tubuh atau perpindahan yang meliputi seluruh atau sebagian dari tubuh sebagai respon yang diberikan terhadap rangsangan dari lingkungan dan akibat adanya pertumbuhan.
Gerak merupakan salah satu ciri makhluk hidup yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan hidupnya. Gerak yang terjadi pada tumbuhan berbeda dengan gerak yang dilakukan oleh hewan dan manusia. Gerak pada tumbuhan bersifat pasif, artinya tidak memerlukan adanya pindah tempat (tetap berada di tempat tumbuhnya). Gerak dapat terjadi karena adanya pengaruh rangsangan (stimulus).
Rangsangan yang mempengaruhi terjadinya suatu gerak pada tumbuhan, antara lain: cahaya, air, sentuhan, suhu, gravitasi dan zat kimia. Rangsangan tersebut, ada yang menentukan arah gerak tumbuhan dan ada pula yang tidak menentukan arah gerak tumbuhan. Rangsangan yang menentukan arah gerak akan menyebabkan tumbuhan bergerak menuju atau menjauhi sumber rangsangan. Pada tumbuhan, rangsangan disalurkan melalui benang plasma (plasmodesmata) yang masuk ke dalam sel melalui celah antar sel (noktah) yang terdapat pada dinding sel.
Berdasarkan sumber rangsangan, gerak pada tumbuhan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. gerak endonom dan
2. gerak etionom.



2. Gerak ETIONOM


Gerak etionom merupakan reaksi gerak tumbuhan yang disebabkan oleh adanya rangsangan dari luar tubuh tumbuhan. Gerak etionom disebut juga dengan gerak esionom.
Rangsangan itu dapat berupa:
o cahaya
o sentuhan
o suhu
o air
o gravitasi bumi
o zat kimia
dan sebagainya. Organ tumbuhan yang memberikan respon terhadap rangsangan tersebut adalah: akar, batang, daun, bunga, buah atau bagian dari organ tumbuhan tersebut. Berdasarkan arah respon, gerak etionom dibedakan menjadi:
1. gerak tropisme
2. gerak nasti
3. gerak taksis

a. TROPI (TROPISME)
Tropisme adalah gerak tumbuhan yang arah geraknya dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan. Tropisme positif adalah gerak yang arahnya mendekati rangsangan, sedangkan tropisme negatif adalah gerak yang arahnya menjauhi rangsangan. Berdasarkan jenis rangsangannya, tropisme dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
Contoh:
• gerak batang tumbuhan ke arah cahaya,
• gerak akar tumbuhan ke pusat bumi,
• gerak akar menuju air, dan
• gerak membelitnya ujung batang atau sulur pada jenis tumbuhan bersulur.
Ditinjau dari macam sumber rangsangannya, tropisme dibedakan menjadi:
1. Fototropisme
2. Geotropisme
3. Hidrotropisme
4. Kemotropisme
5. Tigmotropisme
• Geotropisme atau gravitropisme
merupakan gerak tropisme yang disebabkan rangsangan gaya gravitasi bumi. Geotropisme ada dua yaitu geotropisme positif dan geotropisme negatif. Geotropisme positif adalah gerak organ tumbuhan searah gravitasi bumi, misalnya gerak akar tumbuhan. Sedangkan geotropisme negatif adalah gerak berlawanan arah gravitasi bumi, misalnya gerak tumbuh batang tumbuhan.
• Fototropisme
Fototropisme adalah gerak tropisme yang disebabkan oleh rangsangan berupa cahaya matahari. Fototropisme disebut juga heliotropisme. Fototropisme merupakan adaptasi tumbuhan untuk mengarahkan tajuknya ke arah cahaya matahari yang sangat penting untuk berlangsungnya proses fotosintesis.
Selain itu, fototropisme ini berkaitan erat dengan zat tumbuh yang terdapat pada ujung tumbuhan yang disebut auksin. Pada sisi batang yang terkena cahaya, zat tumbuh lebih sedikit daripada sisi batang yang tidak terkena cahaya. Akibatnya, sisi batang yang terkena cahaya mengalami pertumbuhan lebih lambat daripada sisi batang yang tidak terkena cahaya sehingga batang membelok ke arah cahaya.
• Tigmotropisme
Tigmotropisme adalah gerak tropisme yang disebabkan adanya rangsangan berupa sentuhan benda yang lebih keras.
Misalnya:
Gerak pada tumbuhan yang memiliki sulur.
Apabila sulurnya menyentuh benda keras seperti tonggak kayu, maka akan terjadi kontak sehingga sulur akan melilit kayu tersebut. Adanya sentuhan merangsang sel-sel tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Pertumbuhan sel-sel pada daerah yang bersentuhan lebih lambat daripada sel-sel pada bagian lainnya sehingga memungkinkan sulur dapat tumbuh melilit. Tigmotropisme memungkinkan tumbuhan memanjat dengan bantuan objek lain sebagai penyangga pada waktu tumbuh ke arah cahaya matahari.
• Hidroptropisme
merupakan gerak tropisme yang disebabkan karena rangsangan air. Contohnya gerak pertumbuhan akar menuju ke air.
• Termotropisme merupakan gerak tropisme yang disebabkan karena rangsangan suhu.
• Kemotropisme merupakan gerak tropisme yang disebabkan karena rangsangan zat kimia. Contohnya gerak akar menuju pupuk.
• Reotropisme merupakan gerak tropisme yang disebabkan oleh aliran air sehingga mempengaruhi arah gerak tumbuhan. Contohnya eceng gondok.


b. TAKSIS
Taksis adalah gerak yang terjadi akibat rangsangan luar. Seluruh tubuh tumbuhan akan bergerak, dan arah geraknya ditentukan oleh arah rangsangan. Berdasarkan jenis rangsangannya, taksis dibedakan menjadi beberapa macam, yakni:
• Fototaksis merupakan gerak taksis yang disebabkan rangsangan cahaya. contohnya gerak Euglena menuju cahaya. Fototaksis dibedakan menjadi dua yaitu fototaksis positif dan fototaksis negatif. Fototaksis positif adalah gerak tumbuhan mendekati rangsangan cahaya, sedangkan fototaksis negatif adalah gerak tumbuhan menjauhi rangsangan cahaya.
• Kemotaksis merupakan gerak taksis yang disebabkan rangsangan zat kimia. Contohnya gerak sel spermatozoid menuju sel telur.
• Galvanotaksis merupakan gerak taksis yang disebabkan rangsangan listrik.


c. NASTI
Nasti adalah gerak bagian tumbuhan yang arah geraknya tidak dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan. Gerak nasti disebabkan oleh perubahan turgor pada jaringan di tulang daun.
Contoh:
• Menutupnya daun putri malu dan tumbuhan Venus karena sentuhan
• Menutupnya daun-daun majemuk pada tanaman polong-polongan saat malam hari
• Membuka dan menutupnya bunga pukul empat
• Membuka serta menutupnya stomata
Ditinjau dari macam sumber rangsangannya, gerak nasti dibedakan menjadi:
1. Fotonasti
2. Niktinasti
3. Tigmonasti
4. Termonasti
5. Haptonasti
6. Nasti Kompleks
• Seismonasti atau tigmonasti
Tigmonasti adalah gerak nasti yang
disebabkan oleh rangsangan mekanis berupa sentuhan atau tekanan. Istilah tigmonasti berasal dari bahasa Yunani, yaitu thigma yang berarti sentuhan. Gerak tigmonasti disebut juga dengan seismonasti.
Misalnya:
Gerak mengatupnya daun putri malu karena terkena sentuhan. Responturgor di dalam sel-sel pada persendian daun. mengatup (seperti layu) akan terjadi dalam waktu singkat sekitar 1-2 detik. Untuk kembali ke posisi semula, tumbuhan putri malu membutuhkan waktu lebih kurang 10 menit. Mekanisme gerak ini juga disebabkan oleh pengaruh perubahan tekanan
• Niktinasti
Niktinasti adalah gerak nasti yang disebabkan oleh suasana gelap. Istilah niktinasti berasal dari bahasa Yunani, nux yang berarti malam. Umumnya, daun-daun tumbuhan polong-polongan (Leguminosaceae) akan menutup pada waktu malam. Daun-daun tersebut akan membuka kembali pada pagi hari. Selain disebabkan oleh suasana gelap, gerak “tidur” daun-daun tersebut dapat terjadi akibat perubahan tekanan turgor di dalam persendian daun.
Misalnya:
Gerak tidur daun pohon turi di malam hari, yang mengatupkan daunnya saat hari mulai gelap.

Tanaman Kembang Turi yang daunnya membuka lebar sepanjang hari (pagi hingga menjelang sore hari)
.
Tanaman Kembang Turi yang daunnya menutup (gerak tidur) menjelang malam hari sampai menjelang pagi hari.
• Termonasti

merupakan gerak nasti yang disebabkan oleh rangsangan suhu. Contohnya mekarnya bunga tulip ketika suhu udara naik.
• Fotonasti

Tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa) yang bunganya mekar pada sore hari.
Fotonasti adalah gerak nasti pada tumbuhan yang disebabkan oleh rangsangan cahaya matahari. Misalnya:
• Bunga pukul sembilan yang mekar sekitar pukul sembilan.
• Bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) yang akan mekar pada sore hari dan menutup esok paginya.

• Nasti kompleks

merupakan gerak nasti yang disebabkan lebih dari satu rangsangan. Contohnya gerak membuka dan menutupnya stomata.
5. Haptonasti
Haptonasti adalah gerak nasti yang terjadi pada tumbuhan insektivora yang disebabkan oleh sentuhan serangga.
Misalnya:
Menutupnya daun tanaman kantung semar dan Venus ketika tersentuh serangga kecil. Jika seekor serangga mendarat di permukaan daun, daun akan cepat menutup. Akibatnya, serangga tersebut terperangkap dan tidak dapat keluar.



3. Gerak ENDONOM atau autonom


yaitu gerak yang belum/tidak diketahui sebabnya. Karena belum diketahui sebabnya ada yang menduga tumbuhan itu sendiri yang
menggerakkannya  gerak OTONOM, misalnya aliran plasma sel.
Gerak endonom adalah gerak tumbuhan yang disebabkan oleh rangsangan atau faktor-faktor yang berasal dari dalam tumbuhan itu sendiri. Gerak endonom disebut juga autonom.
Macam-macam gerak endonom, yaitu:
1. Nutasi :
Gerak spontan dari tumbuhan yang tidak disebabkan adanya rangsangan dari luar.
Misalnya:
Gerakan aliran sitoplasma pada tanaman air Hydrilla verticillata.

2. Higroskopis :
Gerak bagian tumbuhan yang terjadi karena adanya perubahan kadar air pada tumbuhan secara terus menerus, akibatnya kondisi menjadi sangat kering pada kulit buah atau kotak spora sehingga kulit biji atau kotak spora pecah.
Misalnya:
Pecahnya kulit buah polong-polongan (lamtoro, kembang merak, kacang buncis, kacang kedelai). Hal ini disebabkan berkurangnya air pada kulit buah. Kulit buah menjadi kering, retak dan akhirnya pecah sehingga bijinya terpental ke luar. Pecahnya kulit buah dan terpentalnya biji sebenarnya merupakan cara tumbuhan tersebut memencarkan alat perkembangbiakannya. Gerak higroskopis juga terjadi pada membukanya kotak spora (sporangium) tumbuhan paku (Pteridophyta) dan lumut (Bryophyta).
http://bebas.ui.ac.id/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0058%20Bio%202-4b.htm


Pergerakan turgor
Adalah respons tumbuhan yang relative cepat dan dapat berbalik arah. Ketika selmembutuhkan air, meningkatkan turgor dan akibatnya juga tekanan yang diberikan padadinding-dindingnya: sel meningkat dalam ukuran karena elastisitas tertentu dari dinding-dindingnya. Jika tekanan mereka meningkat secara bersamaan dan dengan cara yang sama,maka ketegangan yang cukup besar dalam hasil jaringan yang dapat mengakibatkandeformasi jaringan itu. Seperti deformasi dapat menjadi penyebab pergeseran spasial seluruhbagian tanaman. Kadang-kadang sel-sel berpartisipasi dalam gerakan yang dikelilingi olehdinding sel yang berbeda ukuran, sehingga tekanan menyebar ke arah tertentu. Parapenjagagerakan seldi dalam epidermis adalah contoh utama. Gerakan turgor yang reversibel hanya jikatekanan osmotik dalam sel dapat menurun kembali setelah beberapa waktu. Perubahantersebut dapat diamati di beberapa sendi tangkai daun yang menyebabkan sirkadianmengangkat dan menurunkan daun.



2.4 Auksin
Auxin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu tanaman. Hasil penemuan Kogl dan Konstermans (1934) dan Thymann (1935) mengemukakan bahwa Indole Acetic Acid (IAA) adalah suatu auxin.
1. Kejadian di dalam alam
Di dalam alam, stimulasi auxin pada pertumbuhan celeoptile ataupun pucuk suatu tanaman, merupakan suatu hal yang dapat dibuktikan. Praktek yang mudah dalam pembuktian kebenaran diatas dapat dilakukan dengan Bioassay method yaitu dengan the straight growth tets dan curvature test.
Menurut Larsen (1944), Indoleacetaldehyde diidentifikasikan sebagai bahan auxin yang aktif dalam tanaman, selanjutnya ia mengemukakan bahwa zat kimia tersebut aktif dalam menstimulasi pertumbuhan kemudian berubah menjadi IAA. Perubahan tersebut menurut Gordon (1956) adalah perubahan dari Trypthopan menjadi IAA
Tryptamine sebagai salah satu zat organik, merupakan salah satu zat yang terbentuk dalam biosintesis IAA. Dalam hal ini perlu dikemukakan dalam tanaman fanili Cruciferae dan merupakan zat yang dapat dikelompokan ke dalam auxin (Jones et al, 1952). Menurut Thimann dan Mahadevan (1958), zat tersebut atas bantuan enzym nitrilase dapat membentuk auxin. Ahli lainnya (Cmelin dan Virtanen, 1961) menerangkan bahwa Indoleacetonitrile yang terdapat pada tanaman, terbentuk dari Glucobrassicin atas aktivitas enzym Myrosinase. Dan zat organik lain (Indoleethanol) yang terbentuk dari Trypthopan dalam biosin. Thesis IAA adalah atas bantuan bakteri (Rayle dan Purves, 1976).
2. Metabolisme Auxin
Hasil penelitian terhadap metabolisme auxin menunjukan bahwa konsentrasi auxin di dalam tanaman mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi IAA ini adalah :
a. Sintesis Auxin
b. Pemecahan Auxin
c. In-aktifnya IAA sebagai akibat proses pemecahan molekul.
Sebagaimana diketahui, IAA adalah endogeneous auxin yang terbentuk dari Trypthopan yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman di dalam proses biosintesis. Trypthopan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole pyruvic acid dan Indole-3-acetaldehyde. Tetapi IAA ini dapat pula terbentuk dari Tryptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetid acid (IAA). Sedangkan mengenai perubahan Indole-3-acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzym nitrilase prosesnya masih belum diketahui.
Pemecahan IAA dapat pula terjadi di dalam alam. Hal ini sebagai akibat adanya photo oksidasi dan enzyme. Dalam peristiwa photo oksidasi ini, pigmen pada tanaman akan menyerap cahaya kemudian energi ini dapat mengoksidasi IAA. Adapun pigmen yang berperan dalam photo oksidasi ialah Ribovlavin dan B-Carotene.
Ada hubungan yang berbanding terbalik antara aktivitas oksidasi IAA dengan kandungan IAA dalam tanaman. Dalam hal ini apabila kandungan IAA tinggi, maka aktivitas IAA oksidasi menjadi rendah, begitu pula sebaliknya. Di dalam daerah meristematic yang kadar auxinnya tinggi, ternyata aktivitas IAA oksidasinya rendah. Sedangkan di daerah perakaran yang kandungan auxinnya rendah, ternyata aktivitas IAA oksidasinya tinggi.
Proses lain yang menyebabkan inaktifnya IAA ialah karena adanya degradasi oleh photo oksidasi atau aktivitas suatu enzym.
3. Struktur molekul dan aktivitas auxin
Menurut Koeffli, Thimann dan went (1966), aktivitas auxsin ditentukan oleh :
a. adanya struktur cincin yang tidak jenuh,
b. adanya rantai keasaman (acid chain)
c. pemisahan karboksil grup (-COOH) dari struktur cincin.
d. Adanya pengaturan ruangan antara struktur cincin dengan rantai keasaman.

Keempat persyaratan diatas merupakan faktor yang menentukan terhadap aktivitas auxin. Tentang sifat dari rantai keasaman, Koeffli (1966) menerangkan bahwa posisi dan panjang rantai keasaman, berpengaruh terhadap aktivitas auxin. Rantai yang mempunyai karboksil grup dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen akan memberikan aktivitas yang normal.
4. Arti auxin bagi fisiologi tanaman.
Auxin sebagai salah satu hormon tumbuh bagi tanaman mempunyai peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dilihat dari segi fisiologi, hormon tumbuh ini berpengaruh terhadap :
a. Pengembangan sel
b. Phototropisme
c. Geotropisme
d. Apical dominasi
e. Pertumbuhan akar (root initiation)
f. Parthenocarpy
g. Abisission
h. Pembentukan callus (callus formation) dan
i. Respirasi

a. Pengembangan sel
Dari hasil studi tentang pengaruh auxin terhadap perkembangan sel, menunjukan bahwa terdapat indikasi yaitu auxin dapat menaikan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel.
Dalam hubungannya dengan permeabilitas sel, kehadiran auxin meningkatkan difusi masuknya air ke dalam sel. Hal ini ditunjang oleh pendapat Cleland dan Brustrom (1961) bahwa auxin mendukung peningkatan permeabilitas masuknya air ke dalam sel.
b. Phototropisme
Suatu tanaman apabila disinari suatu cahaya, maka tanaman tersebut akan membengkok ke arah datangnya sinar. Membengkoknya tanaman tersebut adalah karena terjadinya pemanjangan sel pada bagian sel yang tidak tersinari lebih besar dibanding dengan sel yang ada pada bagian tanaman yang tersinari. Perbedaan rangsangan (respond) tanaman terhadap penyinaran dinamakan phototropisme.
Terjadinya phototropisme ini disebabkan karena tidak samanya penyebaran auxin di bagian tanaman yang tidak tersinari dengan bagian tanaman yang tersinari. Pada bagian tanaman yang tidak tersinari konsentrasi auxinnya lebih tinggi dibanding dengan bagian tanaman yang tersinari.




c. Geotropisme
Geotropisme adalah pengaruh gravitasi bumi terhadap pertumbuhan organ tanaman. Bila organ tanaman yang tumbuh berlawanan dengan gravitasi bumi, maka keadaan tersebut dinamakan geotropisme negatif. Contohnya seperti pertumbuhan batang sebagai organ tanaman, tumbuhnya kearah atas. Sedangkan geotropisme positif adalah organ-organ tanaman yang tumbuh kearah bawah sesuai dengan gravitasi bumi. Contohnya tumbuhnya akar sebagai organ tanaman ke arah bawah.
Keadaan auxi dalam proses geotropisme ini, apabila suatu tanaman (celeoptile) diletakan secara horizontal, maka akumulasi auxin akan berada di dagian bawah. Hal ini menunjukan adanya transportasi auxin ke arah bawah sebagai akibat dari pengaruh geotropisme. Untuk membuktikan pengaruh geotropisme terhadap akumulasi auxin, telah dibuktikan oleh Dolk pd tahun 1936 (dalam Wareing dan Phillips 1970). Dari hasil eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa auxin yang terkumpul di bagian bawah memperlihatkan lebih banyak dibanding dengan bagian atas.
Sel-sel tanaman terdiri dari berbagai komponen bahan cair dan bahan padat. Dengan adanya gravitasi maka letak bahan yang bersifat cair akan berada di atas. Sedangkan bahan yang bersifat padat berada di bagian bawah. Bahan-bahan yang dipengaruhi gravitasi dinamakan statolith (misalnya pati) dan sel yang terpengaruh oleh gravitasi dinamakan statocyste (termasuk statolith).
d. Apical dominance
Di dalam pola pertumbuhan tanaman, pertumbuhan ujung batang yang dilengkapi dengan daun muda apabila mengalami hambatan, maka pertumbuhan tunas akan tumbuh ke arah samping yang dikenal dengan “tunas lateral” misalnya saja terjadi pemotongan pada ujung batang (pucuk), maka akan tumbuh tunas pada ketiak daun. Fenomena ini kita namakan “apical dominance”
Hubungan antara auxin dengan apical dominance pada suatu tanaman telah dibuktikan oleh Skoog dan Thimann (1975). Dalam eksperimennya, pucuk tanaman kacang (apical bud) dibuang, sebagai akibat treatment tersebut menyebabkan tumbuhnya tunas di ketiak daun. Dari ujung tanaman yang terpotong itu diletakan blok agar yang mengandung auxin. Dari perlakuan tersebut ternyata bahwa tidak terjadi pertumbuhan tunas pada ketiak daun. Hal ini membuktikan bahwa auxin yang ada di apical bud menghambat tumbuhnya tunas lateral.
e. perpanjangan akar (root initiation)
Dalam hubungannya dengan pertumbuhan akar, Luckwil (1956) telah melakukan suatu eksperimen dengan menggunakan zat kimia NAA (Naphthalene acetic acid), IAA (Indole acetid acid) dan IAN (Indole-3-acetonitrile) yang ditreatment pada kecambah kacang. Dari hasil eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa ketiga jenis auxin ini mendorong pertumbuhan primordia akar. Perlu dikemukakan pula di sini, bahwa menurut Delvin (1975), pemberian konsentrasi IAA yang relatif tinggi pada akar, akan menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.
f. Pertumbuhan batang (stem growth)
Di dalam alam, hubungan antara auxin dengan pertumbuhan batang nyata erat sekali. Apabila ujung coleoptile dipotong, kemungkinan tanaman tersebut akan terhenti pertumbuhannya.
Di dalam tanaman, jaringan-jaringan muda terdapat pada apical meristem. Hubungannya dengan pertumbuhan tanaman peranan auxin sangat erat sekali. Dalam gambar diatas diperoleh petunjuk bahwa kandungan auxin yang paling tinggi terdapat pada pucuk yang paling rendah (basal).


g. Parthenocarpy
Di dalam alam sering kita menjumpai buah yang tidak berbiji. Seperti ; Anggur, Strawberry dan tanaman famili mentimun. Keadaan seperti ini disebabkan tidak dialaminya pembuahan pada perkembangan buah. Di dalam fisiologi, keadaan seperti ini dinamakan Parthenocarpy.
Di dalam proses Parthenocarpy, hormon auxin bertalian erat. Seperti dikemukakan massart (1902) hasil eksperimennya menunjukan bahwa pembengkakan dinding ovary bunga anggrek dapat distimulasi oleh tepung sari yang telah mati.
Pada tahun 1934 Yasuda berhasil menemukan penyebab Parthenocarpy dengan menggunakan ekstrak tepung sari pada bunga mentimun. Hasil analisisnya menunjukan bahwa ekstrak tersebut mengandung auxin. Selanjutnya pada tahun1936, Gustafon telah menemukan terjadinya Parthenocarpy dengan menggunakan IAA yang dicampur dengan lanolin pada stigma. Hasil penelitian Muir (1942) menunjukan pula bahwa kandungan auxin pada ovary yang mengalami pembuahan (pollination) meningkat bila dibandingkan dengan ovary yang tidak mengalami pembuahan.
h. Pertumbuhan buah (fruit growth)
Peningkatan volume buah ada hubungannya dengan pertumbuhan buah. Keadaan ini akibat hasil pembelahan sel dan/atau pengembangan sel. Menurut Weaver (1972), fase pembelahan sel biasanya overlap dengan pengembangan sel (cell enlargementh). Keadaan perkembangan ini selalu diikuti oleh peningkatan ukuran buah.
Mengenai hubungannya dengan auxin, diterangkan oleh Muller-Thurgau dalam tahun 1898 bahwa endosperma dan embrio di dalam biji menghasilkan auxin yang menstimulasi pertumbuhan endosperma. Suatu anggapan mengenai peranan auxin dalam pertumbuhan buah, telah dibuktikan oleh Crane dalam tahun 1949 dengan menggunakan 2,4, 5-T sebagai exogenous auxin yang diaplikasikan pada blak berry, anggur, strawberry dan jeruk. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pertumbuhan buah lebih cepat 60 hari dari fase normal rata-rata 120 hari.
i. Abscission
Abscission adalah suatu proses secara alami terjadinya pemisahan bagian/organ tanaman dari tanaman, seperti ; daun, bunga, buah atau batang.
Menurut Addicot (1964) maka dalam proses abscission ini faktor alami seperti ; dingin, panas, kekeringan, akan berpengaruh terhadap abscission. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh, maka mungkin hormon ini akan mendukung atau menghambat proses tersebut.
Di dalam proses abscission, akan terjadi perubahan-perubahan metabolisme dalam dinding sel dan perubahan secara kimia dari pectin dalam midle lamella.
Pembentukan lapisan abscission (abscission layer), kadang-kadang diikuti oleh susunan cell division proximal. Disini sel-sel baru akan berdiferensiasi ke dalam periderm dan membentuk suatu lapisan pelindung (Weaver, 1972).
Mengenai hubungan antara abscission dengan zat tumbuh auxin, Addicot et al (1955) mengemukakan sbb: Abscission akan terjadi apabila jumlah auxin yang ada di daerah proksimal (proximal region) sama atau lebih dari jumlah auxin yang terdapat di daerah distal (distal region). Tetapi apabila jumlah auxin yang berada di daerah distal lebih besar dari daerah proximal, maka tidak akan terjadi abscission. Dengan kata lain proses abscission ini akan terlambat.
Teori lain (Biggs dan Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auxin terhadap abscission ditentukan oleh konsentrasi auxin itu sendiri. Konsentrasi auxin yang tinggi akan menghambat terjadinya abscission, sedangkan auxin dengan konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya abscission.
Teori terakhir dikemukakan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang menerangkan bahwa respon abscission pada daun terhadap auxin dapat dibagi kedalam dua fase jika perlakuan auxin diberikan setelah daun terlepas. Fase pertama, auxin akan menghambat abscission, dan fase kedua auxin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung terjadinya abscission.


j. Senescence
Menurut Alex Comport (1956) dalam Leopold (1961) “senescence” adalah suatu penurunan kemampuan tumbuh (viability) disertai dengan kenaikan vulnerability suatu organisme. Namun di dalam tanaman, istilah ini diartikan; menurunnya fase pertumbuhan (growth rate) dan kemampuan tumbuh (vigor) serta diikuti dengan kepekaan (susceptibility) terhadap tantangan lingkungan, penyakit atau perubahan fisik lainnya. Ciri dari fenomena ini selalu diikuti dengan kematian.
Di dalam alam, senescence terjadi pada daun, batang dan buah. Menurut Leopold (1961) ada empat bentuk senescence yang terjadi pada tanaman yaitu :
1. Semua organ tumbuh mengalami senescence (over-all senescence)
2. Senescence yang terjadi pada bagian atas (top senescence)
3. Senescence yang terjadi seluruh bagian daun dan buah (decideus senescence)
4. Senescence berkembang dari daun paling bawah menuju kearah atas (progresive senescence)
Ciri-ciri terjadinya senescence dapat ditemukan pada morfologi dan perubahan di dalam organ atau seluruh tubuh tanaman. Keadaan seperti ini diikuti oleh meningkatnya abscission serta daun dan buah berguguran dari batang pokok. Begitu pula pertumbuhan dan pigmentasi warna hijau berubah menjadi warna kuning, yang akhirnya buah dan daun terlepas dari batang pokok.