Numpang promo

Welcome To My Place......

Selamat datang di blogku

Sabtu, 31 Desember 2011

Fisiologi Tanaman - Pembungaan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu proses perkembangan yang harus tepat waktu adalah proses pembungaan. Tumbuhan tidak boleh berbunga terlalu cepat sebelum organ-organ penunjang lainnya siap, misalnya sebelum akar dan daun lengkap. Sebaliknya tumbuhan tidak boleh berbunga terlambat, sehingga buah tumbuhan tidak sempurna keburu musim dingin datang. Kejadian tersebut penting artinya bagi tumbuhan yang hidup di daerah 4 musim, sehingga mereka harus benar-benar dapat memanfaatkan saat yang tepat untuk melakukan perkembangaan nya. Tumbuhan semusim (annual plant) harus memanfaatkan waktu diantara musim dingin. Tumbuhan dua musim (biennial plant) pada musim pertama menghasilkan organ-organ persediaan makanan di dalam tanah, dan pada musim berikutnya melakukan pertumbuhan yang di akhiri dengan pembungaan. Tumbuhan menahun (perennial plant) akan menghentikan pertumbuhan dan perkembangan (dorman) pada musim dingin, berbunga pada musim berikutnya agar cukup waktu bagi buah untuk berkembang dan matang sebelum atau di awal musim gugur.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat erat berhubungan kehidupan tanaman, yang akan mempengaruhi proses-proses fisiologi dalam tanaman. Semua proses fisiologi akan dipengaruhi oleh suhu dan beberapa proses akan tergantung dari cahaya. Penyinaran cahaya terhadap tanaman merupakan salah satu faktor eksternal yaitu faktor dari luar yang mempengaruhi pembungaan (Natania, 2008).
Kejadian musiman sangat penting dalam siklus kehidupan sebagian besar tumbuhan. Perkecambahan biji, pembungaan, permulaan dan pengakhiran dormansi tunas merupakan contoh-contoh tahapan dalam perkembangan tumbuhan yang umumnya terjadi pada waktu spesifik dalam satu tahun. Stimulus lingkungan yang paling sering digunakan oleh tumbuhan untuk mendeteksi waktu dalam satu tahun adalah fotoperiode, yaitu suatu panjang relative malam dan siang. Respons fisologis terhadap fotoperiode, seperti pembungaan, disebut fotoperiodisme (photoperiodism) (Campbell, dkk., 1999).

Penemuan fotoperiodisme merangsang banyak sekali ahli fisiologi tanaman untuk mengadakan penyelidikan tentang proses itu lebih jauh dalam usahanya untuk menentukan mekanisme aksi. Mereka segera menemukan bahwa istilah hari pendek dan hari panjang merupakan salah kaprah (misnomer). Interupsi periode hari terang dengan interval kegelapan tidak mempunyai efek mutlak pada proses pembungaan (Natania, 2008).
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
- Untuk mengetahui mekanisme pembungaan
- Untuk mengetahui fitokrom















BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Fitokrom
Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk mencerap (mendeteksi) cahaya. Sebagai sensor, ia terangsang oleh cahaya merah dan infra merah, cahaya infra merah memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari pada cahaya merah. Fitokrom ditemukan pada semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada bakteri. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme (pengaturan saat berbunga pada tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta pembuatan (sintesis) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah yang bersama-sama disebut sebagai fitokrom.
Penelitian rintisan terhadap pengaruh cahaya merah dan merah jauh terhadap pertumbuhan tumbuhan antara 1940-1960 dilakukan oleh Sterling Hendricks dan Harry Borthwick dari Pusat Penelitian Pertanian Beltsville di Maryland, dengan menggunakan spektrograf dari bahan-bahan sisa Perang Dunia Kedua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya merah memacu perkecambahan dan memicu tanggap untuk pembungaan. Lebih lanjut, cahaya merah jauh berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya merah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap rangsang cahaya ini berada di daun.

2.2.1. Mekanisme Kerja Fitokrom
Banyak hipotesis diketemukan tentang mekanisme kerja dari fitokrom. Salah satunya menyatakan kerja biologi pada mekanisme kerja fitokrom ini terjadi setelah terbentuknya Pfr(phytocrome infra red).


merah
Pr <=============> Pfr --------------- > kerja biologi

merah jauh

Sumber fitokrom dapat diperoleh dari biji-biji yang etiolasi, sedangkan pada jaringan normal hanya sedikit. Pada beberapa jaringan, perubahan Pr dan Pfr tidak selalu diikuti dengan terjadinya respon morfogenetik. Perubahan Pr <-------> Pfr prosesnya tidak sederhana seperti ditunjukkan di atas. Pengukuran dengan spektrofotometer menunjukkan bahwa Pfr mungkin dipecah oleh cahaya merah jauh, tidak menunjukkan hubungan secara kuantitatif dengan hilangnya Pfr. Diduga mungkin Pfr berubah menjadi suatu derivat yang secara fotokimia tidak aktif.
Tidak aktif
x


Pr <=======> Pfr---------> Pfr x-------------> kerja biologi
Merah Jauh
Dirombak

Selain mengatur pembungaan, siklus pertukaran Pr Pfr kini juga diketahui mengatur fungsi pertumbuhan yang lain. Siklus ini misalnya merangsang perkecambahan biji benih dan memperlambat pamanjangan batang. Keadaan Pfr dengan jelas menunjukkan kepada biji bahwa terdapat cahaya matahari dan keadaanya sesuai bagi perkecambahan. Setelah perkecambahan, keadaan Pr menandakan bahwa pemanjangan batang perlu terjadi untuk memungkinkan tumbuhan menerima cahaya matahari. Anak benih yang ditanam dalam keadaan gelap akan mengetiolat, yaitu batangnya bertambah panjang dan daunnya juga tetap kecil. Sebaiknya anak benih dibukakan terhadap cahaya matahari dan Pr ditukarkan kepada Pfr. Anak benih mulai tumbuh secara normal daunnya bertambah besar dan batangnya bercabang.

2.2 Fotoperiodisme
Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran ( panjang pendeknya hari) yang dapat merangsang pembungaan. Garner dan Alard (1920) menyebutkan Maryland Mammoth adalah tumbuhan hari Pendek (short day plant), karena tumbhan ini nyatanya memerlukan suatu periode terang yang lebih pendek di banding dengan panjang siang hari yang kritis untuk pemrbungaan. Krisan, poinsettia, dan beberapa varietas kacang kedelai merupakan contoh tumbuhan hari pendek yang pada mumnya berbunga pada akhir musim panas, musim gugur, atau musim dingin. Kelompok lain yang bergantung pada fotoperiode hanya akan berbunga ketika periode terang lebih lama beberapa jam. Tumbuhan hari panjang (long day plant) ini umumnya berbunga pada akhir musim semi atau awal musim panas. Bayam, misalnya, ketika panjang siang hari 14 jam ata lebih lama. Lobak, dam selada, iris, dan banyak varietas sereal lain merupakan tumbuhan hari panjang. Perbungaan pada kelompok ke tiga, yaitu tumbuhan hari netral, tidak dipengaruhi oleh fotoperiode.
Tomat, padi, dan dandelion adalah contoh tmbuhan hari netral (day neutral plant) yang berbunga ketika mereka mencapai tahapan pematangan tertentu, tanpa memperdulikan panjang siang hari pada waktu itu. Yang dimaksud dengan panjang hari disini bukan panjang hari secara mutlak, tetapi panjang hari kritis. Tumbuhan hari panjang (LDP) mungkin memiliki panjang hari kritis lebih pendek dari tumbuhan hari pendek (SDP). Dinyatakan bahwa tumbuhan hari panjang akan berbunga apabila memperoleh induksi penyinaran yang sama atau lebih dari panjang harin kritisnya dan sebaliknya tumbuhan hari pendek akan berbunga, apabila memperoleh penyinaran sama atau lebih pendek dari panjang hari kritisnya ( Sasmitamihardja,1996).
Sebelumnya diduga bahwa tumbuhan dirangsang perbungaannya oleh lamanya panjang hari (day length). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malam atau panjang kegelapan tanpa selingan cahaya atau niktoperiode, dan bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode (franklin, dkk, 1991). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malamlah, bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode. Banyak saintis ini bekerja dengan cocklebur, yaitu suatu tmbuhan hari pendek yang berbunga hanya ketika panjang siang hari 16 jam atau lebih pendek (dan panjangnya malam paling tidak 8 jam). Jika bagian siang hari fotoperiode disela dengan pemaparan singkat terhadap kegelapan, tidak ada pengaruh pada perbungaan. Namun, jika bagian malam atau periode gelap dari fotoperiode disela dengan beberapa menit penerangan cahaya redup, tumbuhan tersebut tidak akan berbunga.
Coklebur memerlukan paling tidak 8 jam kegelapan secar terus menerus supaya dapat berbunga. Tumbuhan hari pendek sesungguhnya adalah tumbuhan malam panjang, tetapi istilah yang lebih kuno tersebut tertanam kuat dalam jargon fisiologi tumbuhan. Tmbuhan hari panjang sesungguhnya tumbuhan malam pendek ; apabila ditanam pada fotoperiode malam panjang yang biasanya tidak menginduksi perbungaan, tmbuhan hari panjang akan berbunga jika periode kegelapan terus menerus diperpendek selama beberapa menit dengan pemberian cahaya. Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur); tumbuhan hari panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek disbanding dengan panjang malam kritis. Industry penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara menyela setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu malam panjangmenjadi malam pendek. Tunas menghasilkan bunga, tetapi mendeteksi fotoperiode.
Pada banyak spesies tumbuhan hari pendek atau tumbuhan hari panjang, perbungaan cukup diinduksi dengan memaparkan sebuah daun tunggal terhadap fotoperiode yang tepat. Sesungguhnya meskipun hanya satu daun dibiarkan bertaut pada tumbuhan, fotoperiode akan tetap terdeteksi dan tunas bunga akan diinduksi. Namun, jika semua daun dibuang tumbuhan akan buta terhadap fotoperiode. Pada kenyataannya, beberapa pesan untuk berbunga diangkut dari daun ke tunas bunga. Sebagian besar ahli fisiologi tumbuhan yakin bahwa tumbuhan ini adalah sebuah hormon atau perbahan konsentrasi relatif dua atau lebih hormon. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetatif sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untuk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transmisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Sinyal untuk bunga yang berjalan dari daun ke tunas bunga kelihatannya sama pada tumbuhan hari pendek dan tumbuhan hari panjang, meskipun kedua kelompok tumbuhan tersebut berbeda dalam hal kondisi fotoperiodik yang diperlukan daun untuk mengirim sinyal tersebut. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetative sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik -diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur), tumbuhan hari panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek dibanding dengan panjang malam kritis. Industri penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara menyelang setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu malam panjang menjadi malam pendek.
Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.


2.2.1 Induksi Fotoperiodisme
Induksi fotoperiodisme sangat penting dalam perbungaan atau lebih tepat disebut in-duksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi fotoperioda sangat berva-riasi, ada tumbuhan untuk perbungaannya cukup memperoleh induksi dari fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lain memerlukan induksi lebih dari satu kali. Xanthium strumarium untuk perbungaannya memerlukan 8 x induksi fotoperioda yang harus berjalan terus menerus. Apabila tanaman ini sebelum memperoleh induksi lengkap, mendapat gangguan atau terputus induksi fotoperiodanya, maka tanaman itu tidak akan berbunga. Kekurangan induksi fotope-rioda tidak dapat ditambahkan demikian saja, karena efek fotoperioda yang telah diterima sebelumnya akan menjadi hilang. Untuk memperoleh induksi lengkap, tanaman tersebut harus mengulangnya dari awal kembali.
Di dalam menerima rangsangan fotoperioda ini, organ daun diketahui sebagai organ penerima rangsangan. Ada 4 tahap yang terjadi dalam resepon perbungaan terhadap rangsan-gan fotoperioda, pertama menerima rangsangan, kedua transformasi dari organ penerima rangsangan menjadi beberapa pola metabolisme baru yang berkaitan dengan penyediaan ba-han untuk perbungaan, ketiga pengangkuatan hasil metabolisme dan keempat terjadinya res-pon pada titik tumbuh untuk menghasilkan perbungaan.
Beberapa percobaan dalam hubungan dengan rangsangan ini, menunjukkan bahwa apabila daun dibuang segera setelah induksi selesai, tidak akan terjadi perbungaan , sedang-kan apabila daun dibuang setelah beberapa jam sehabis selesai induksi, tumbuhan tersebut dapat berbunga. Rangsangan yang diterima oleh satu tumbuhan dapat diteruskan pada tum-buhan lain yang tidak memperoleh induksi, melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbu-han tersebut dapat berbunga. Hormon yang berperan dalam perbungaan ini adalah florigen, yang masih merupakan hormon hipotesis.

2.3 Mekanisme Pembungaan
Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap penting, yang semuanya harus ber-hasil dilangsungkan untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji. Masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang berbeda.

1. Induksi bunga (evokasi)
 Adalah tahap pertama dari proses pembungaan, yaitu suatu tahap ketika meristem vege-tatif diprogram untuk mulai berubah menjadi meristem reproduktif.
 Terjadi di dalam sel.
 Dapat dideteksi secara kimiawi dari peningkatan sintesis asam nukleat dan protein, yang dibutuhkan dalam pembelahan dan diferensiasi sel.
2. Inisiasi bunga
 Adalah tahap ketika perubahan morfologis menjadi bentuk kuncup reproduktif mulai dapat terdeteksi secara makroskopis untuk pertama kalinya.
 Transisi dari tunas vegetatif menjadi kuncup reproduktif ini dapat dideteksi dari peru-bahan bentuk maupun ukuran kuncup, serta proses-proses selanjutnya yang mulai membentuk organ-organ reproduktif.
3. Perkembangan kuncup bunga menuju anthesis (bunga mekar)
 Ditandai dengan terjadinya diferensiasi bagian-bagian bunga.
 Pada tahap ini terjadi proses megasporogenesis dan mikrosporogenesis untuk penyempurnaan dan pematangan organ-organ reproduksi jantan dan betina.
4. Anthesis
 Merupakan tahap ketika terjadi pemekaran bunga.
 Biasanya anthesis terjadi bersamaan dengan masaknya organ reproduksi jantan dan be-tina, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Ada kalanya organ repro-duksi, baik jantan maupun betina, masak sebelum terjadi anthesis, atau bahkan jauh se-telah terjadinya anthesis.
 Bunga-bunga bertipe dichogamy mencapai kemasakan organ reproduktif jantan dan be-tinanya dalam waktu yang tidak bersamaan.
5. Penyerbukan dan pembuahan
Tahap ini memberikan hasil terbentuknya buah muda. Penyerbukan atau polinasi adalah transfer serbuk sari/polen ke kepala putik (stigma). Kejadian ini merupakan tahap awal dari proses reproduksi (Ashari,1998).

Menurut Elisa (2004) penyerbukan merupakan :
- pengangkutan serbuk sari (pollen) dari kepala sari (anthera) ke putik (pistillum)
- peristiwa jatuhnya serbuk sari (pollen) di atas kepala putik (stigma).

Bunga merupakan alat reproduksi yang kelak menghasilkan buah dan biji. Di dalam biji ini terdapat calon tumbuhannya (lembaga). Terjadi buah dan biji serta calon tumbuhan baru tersebut karena adanya penyerbukan dan pembuahan. Penyerbukan merupakan jatuhnya serbuk sari pada kepala putik (untuk golongan tumbuhan berbiji tertutup) atau jatuhnya serbuk sari langsung pada bakal biji (untuk tumbuhan berbiji telanjang) (Sutarno dkk,1997).

Menurut Ashari (1998) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar proses polinasi berjalan lancar dengan hasil optimal, antara lain :
1.Sistem penyilangan (breeding system) dan variasi jenis kelamin yang menentukan perlunya penyerbukan silang.
2.Saat penyebaran serbuk sari, reseptimatis stigma induk bunga, seluruh tanaman/ pohon yang dikaitkan dengan aktivitas harian serta musiman vektor penyebuk.
3.Vektor yang berperan dalam penyerbukan.
4.Pengaruh cuaca terhadap sinkronisasi pembungaan, penyebaran serbuk sari, serta aktivitas vektor.
Macam penyerbukan di alam menurut Elisa (2004) penyerbukan dapat dibedakan menjadi:

1.Penyerbukan tertutup (kleistogami)
Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama. Dapat disebabkan oleh:
• Putik dan serbuk sari masak sebelum terjadinya anthesis (bunga mekar)
• Konstruksi bunga menghalangi terjadinya penyerbukan silang (dari luar), misalnya pada bunga dengan kelopak besar dan menutup. Contoh : familia Papilionaceae
2.Penyerbukan terbuka (kasmogami)
Terjadi jika putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda. Hal ini dapat terjadi jika putik dan serbuk sari masak setelah terjadinya anthesis (bunga mekar)
Beberapa tipe penyerbukan terbuka yang mungkin terjadi :
a. Autogamie: putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang sama
b. Geitonogamie: putik diserbuki oleh serbuk sari dari bunga yang berbeda, dalam pohon yg sama
c. Allogamie (Silang): putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg sejenis
d.Xenogamie (asing): putik diserbuki oleh serbuk sari dari tanaman lain yg tidak sejenis
Beberapa tipe bunga yang memungkinkan terjadinya penyerbukan terbuka :
a. Dikogami
Putik dan benang sari masak dalam waktu yang tidak bersamaan.
•Protandri : benang sari lebih dahulu masak daripada putik
•Protogini : putik lebih dahulu masak daripada benang sari
b. Herkogami
Bunga yang berbentuk sedemikian rupa hingga penyerbukan sendiri tidak dapat terjadi. Misal Panili yang memiliki kepala putik yang tertutup selaput (rostellum).
c. Heterostili
Bunga memiliki tangkai putik (stylus) dan tangkai sari (filamentum) yg tidak sama pan-jangnya
• tangkai putik pendek (microstylus) dan tangkai sari panjang
•tangkai putik panjang (macrostylus) dan tangkai sari pendek

Tanaman yang mempunyai nilai strategis yang sangat penting, pada umumnya, tidak mempunyai masalah dalam penyerbukan, misalnya tanaman pangan (Padi, Jagung, Palawija dan kedelai). Pada umumnya tanaman tersebut bersifat self fertile, artinya menghasilkan tepung sari yang subur demikian juga putiknya. Jenis bunga tanaman pangan seperti padi, kedelai dan kacang hijau adalah sempurna, yaitu dalam sekuntum bunga terdapat bunga jantan (stamen) dan bunga betina (pistil). Hal tersebut memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri (self pollination). Di sisi lain, sekelompok tanaman yang pada umumnya tanaman buah-buahan tahunan bersifat self infertile. Ketidaksuburan tepung sari maupun ketidaknormalan putik menyebabkan permasalahan dalam proses penyerbukan maupun pembuahannya (Ashari,2004).
Pada proses penyerbukan, apabila bunga dalam suatu tanaman memiliki tepung sari yang tidak subur maka bunga tersebut memerlukan tepung sari lain yang subur. Ada juga tanaman yang mempunyai bunga sempurna,namun susunan morfologi bunga tidak memungkinkan terjadinya self pollination, misalnya terpisahnya bunga jantan dan bunga betina (salak dan kurma) atau halangan fisik lainnya Dengan demikian, jenis tanaman tersebut memerlukan polinator baik yang alami seperti angin, serangga, atau hewan mamalia maupun manusia untuk memindahkan tepung sari dari kepala sari ke kepala putiknya.
6. Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
Tahap ini diawali dengan pembesaran bakal buah (ovarium), yang diikuti oleh perkem-bangan cadangan makanan (endosperm), dan selanjutnya terjadi perkembangan embryo.
Pembesaran buah merupakan efek dari pembelahan dan pembesaran sel, yang meliputi tiga tahap:
 Tahap pertama :
Terjadi peningkatan penebalan pada pericarp oleh adanya pembelahan sel.
 Tahap kedua :
Terjadi pembentukan dan pembesaran vesikel berair (juice vesicle); biasanya terjadi pada buah-buah fleshy
 Tahap ketiga :
Tahap pematangan, biasanya terjadi pengkerutan jaringan dan pengerasan endocarp pada buah-buah dry
Selama tahap-tahap ini terjadi pula akumulasi air dan gula, hingga pada tahap ketiga buah telah mengandung 80-90% air dan 2-10-20% gula.

Contoh : Tahap perkembangan organ reproduksi E. pellita (Ratnaningrum, 2001)

Tahap perkembangan Waktu
Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga
Tahap 1 Diferensiasi tunas reproduktif membentuk tangkai dan kuncup perbungaan 29 hari
Tahap 2 Pembesaran dan pembengkakan kuncup ke ukuran maksimal 17 hari
Tahap 3 Gugurnya selubung kuncup, sehingga terbentuklan perbungaan dengan 7 bunga tunggal 12 hari

Phase 2: Perkembangan bunga menuju anthesis
Tahap 1 Gugurnya selubung outer operculum 39 hari
Tahap 2 Pembengkakan bunga menuju ukuran maksimal 25 hari
Tahap 3 Perubahan warna dari hijau menjadi kuning terang 23 hari
Tahap 4 Anthesis terjadi karena terbukanya outer operculum 5 jam

Phase 3: Penyerbukan dan pembuahan
Tahap 1 Proses perkembangan dari anthesis menuju bunga terserbuki 5 hari
Tahap 2 Perubahan morfologis dari struktur bunga menjadi buah muda 19 hari

Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
Tahap 1 Pembesaran buah muda menuju ukuran maksimal 65 hari
Tahap 2 Perkembangan buah menuju kemasakan dan penyebaran biji 63 hari

T O T A L 302 hari


1a 1b 1c 1d


1e 1f 1g 1h

Phase 1: Inisiasi bunga dan perkembangan kuncup bunga

2a 2b 2c

2d 2e

2f 2g

2h 2I

2j 2k

Phase 2 : perkembangan bunga menuju anthesis

3a 3b 3c 3d

Phase 3 : Penyerbukan dan pembuahan


4a 4b


4c 4d 4e

Phase 4: Perkembangan buah muda menuju kemasakan buah dan biji
2.3.1 Faktor yang berpengaruh pada fase reproduktif
Pembungaan pada tanaman berkayu adalah proses sangat kompleks yang meliputi ba-nyak tahapan perkembangan. Karena sifatnya yang perenial (berumur panjang/menahun), po-hon harus berinteraksi dengan kondisi lingkungan setiap waktu sepanjang tahun, dan pem-bungaan biasanya dihubungkan dengan perubahan iklim.
Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor be-sar, yaitu faktor eksternal (lingkungan) dan internal.

1. Faktor eksternal (lingkungan)
 Suhu
 Cahaya
 Kelembaban
 Unsur hara

2. Faktor internal
 Fitohormon
 Genetik

1. Faktor eksternal

Suhu
• Pada spesies temperate dingin, suhu yang relatif tinggi pada musim panas dan awal musim gugur tampaknya dapat merangsang inisiasi bunga. Fungsi suhu di sini adalah mematahkan dormansi kuncup.
• Pada spesies temperate hangat, subtropis dan tropis, pengurangan relatif pada suhu justru lebih bermanfaat (Matthews, 1963; Jackson dan Sweet, 1972; Menzel, 1983; Owens dan Blake, 1985; Southwick dan Davenport, 1986). Pada apokat suhu optimal untuk perkembangan bunga adalah 25oC. Jika tanaman ditempatkan pada suhu 33oC sepanjang siang hari, selanjutnya akan terjadi penghambatan perkembangan bunga pada tahap diferensiasi tepung sari (Sedgley dkk, 1985b). Pada Acacia pycnantha suhu di atas 19oC menghambat baik mikrosporogenesis maupun makrosporogenesis (Sedgley, 1985a). Pada jeruk, suhu di atas 30oC dilaporkan telah merusak perkembangan kuncup bunga (Moss, 1969).
• Suhu rendah menstimulir terjadinya perubahan pola pembelahan meristem, dari apikal menjadi lateral. Penempatan tanaman pada suhu rendah adalah penting untuk induksi dan inisiasi bunga dengan kebutuhan sekitar 300 jam pada 1,2oC (Amling dan Amling, 1983).
• Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga dan melangsungkan proses pembungaan.
• Selisih antara suhu max di siang hari dengan suhu min di malam hari akan mempengaruhi proses terbentuknya bunga: selisih yang besar akan mempercepat terjadinya pembungaan. Namun fluktuasi suhu yang terlalu besar dapat mengacaukan meiosis pada kuncup yang sedang berkembang pada tanaman larch, yang berakibat pada penurunan fertilitas biji (Barner dan Christiansen, 1960).
• Suhu tinggi akan meningkatkan aktivitas metabolik dalam tubuh tanaman: fotosintesis, asimilasi, dan akumulasi makanan untuk mensuplai energi pembungaan
Curah hujan/kelembaban
• Stres air dapat memacu inisiasi bunga, terutama pada tanaman pohon tropis dan subtropis seperti leci dan jeruk (Menzel, 1983; Southwick dan Davenport, 1986). Pembungaan melimpah pada tanaman kayu tropis genus Shorea juga telah dihubungkan dengan terjadinya kekeringan pada periode sebelumnya (Burgess, 1972). Namun, hasil yang berlawanan telah teramati pada spesies iklim-sedang seperti pinus, apel dan zaitun.
• Kebanyakan pembungaan di daerah tropis terjadi saat transisi dari musim hujan menuju kemarau
• Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya → pertumbuhan vegetatif lebih dominan
• Transisi menuju kemarau berhubungan dengan meningkatnya intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu udara → meningkatnya aktivitas metabolik pada tanaman
• Pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah
• Air dan nitrogen melimpah → titik tumbuh apikal aktif → pertumbuhan vegetatif dominan
• Kandungan air menurun → suhu dalam tanah meningkat → aktivitas meristem apikal menurun → terjadi mobilisasi energi dan cadangan makanan untuk membentuk meristem lateral

Cahaya
Cahaya mempengaruhi pembungaan melalui dua cara, yaitu intensitas cahaya dan fotoperi-odisitas (panjang hari).
1. Intensitas Cahaya
 Berhubungan dengan tingkat fotosintesis: sumber energi bagi proses pembungaan
 Intensitas cahaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan efeknya lebih konsisten dari pada panjang hari. Pengurangan intensitas cahaya akan mengurangi inisiasi bunga pada banyak spesies pohon (Matthews, 1963; Cain, 1971; Jackson dan Sweet, 1972; Puritch dan Vyse, 1972; Tromp, 1984; Sedgley, 1985a).
 Peningkatan cahaya harian rata-rata telah dihubungkan dengan pembungaan yang melimpah pada dipterokarpa di Malaysia (Ng, 1977), dan menejemen kanopi pada pohon apel untuk memaksimalkan penetrasi cahaya dapat memberikan efek yang serupa (Barritt dkk, 1987). Kuncup bunga lebih banyak terbentuk pada ujung cabang/ranting yang mendapatkan cahaya matahari penuh.
 Pada spesies monoesi dan dioesi, yang hanya mempunyai bunga-bunga berkelamin-satu (single-sex), intensitas cahaya dapat memberikan efek yang berbeda pada inisiasi bunga betina dan jantan. Intensitas cahaya yang tinggi merangsang inisiasi bunga betina pada walnut dan pinus, sedangkan intensitas cahaya yang rendah, yang biasanya disebabkan oleh naungan kanopi, lebih merangsang terbentuknya bunga jantan (Matthews, 1963; Giertych, 1977; Ryugo dkk, 1980, 1985).
 Giertych (1977) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dapat memacu pembungaan pada pinus dengan cara meningkatkan suhu dalam primordia.
2. Fotoperiodisitas (panjang hari)
 Merupakan perbandingan antara lamanya waktu siang dan malam hari
 Di daerah tropis panjang siang dan malam hampir sama. Makin jauh dari equator (garis lintang besar), perbedaan antara panjang siang dan malam hari juga makin besar
 Misalnya pada garis 60o LU:
Musim panas: siang hari hampir 19 jam, malam hari 5 jam
Musim dingin: siang hari hanya 6 jam, malam hari 18 jam
 Sehubungan dengan fotoperiodisitas tersebut, pada daerah-daerah 4 musim, tanaman dapat dibedakan menjadi:
• Tanaman berhari pendek
• Tanaman berhari panjang
• Tanaman yang butuh hari pendek untuk mengawali pembungaannya, namun selanjutnya butuh hari panjang untuk melanjutkan proses pembungaan itu
• Tanaman yang dapat berbunga setiap waktu
• Pada Picea glauca, pematahan sinar infra merah pada malam hari akan menghambat pembentukan kon betina, yang mengindikasikan bahwa pembungaan merupakan pengaruh dari hari-pendek (short-day) (Durzan dkk, 1979), dan pengaruh serupa telah teramati pada sejumlah spesies Pinus (Longman, 1961; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Slee, 1977; Greenwood, 1978).
• Aplikasi hari-pendek dengan penyinaran selama 8 jam akan meningkatkan inisiasi bunga pada Rhododendron (Criley, 1969). Pengaruh hari-pendek direncanakan untuk diaplikasikan pada spesies pohon temperate, mengingat bahwa inisiasi bunga secara normal terjadi pada musim gugur seiring dengan berkurangnya panjang hari.
• Namun demikian, pembentukan kuncup bunga pada apel lebih berhasil dilakukan pada 14 jam penyinaran dibandingkan dengan 8 jam, yang mengindikasikan bahwa pada tanaman ini panjang hari di musim panas memberikan hasil yang berbeda nyata (Tromp, 1984). Pada Hibiscus syriacus subtropis, pembungaan tampaknya juga merupakan pengaruh hari-panjang (long-day) (Salisbury, 1982).

Unsur hara
• Keberadaan unsur hara dalam tanah berhubungan dengan ketersediaan suplai energi dan bahan pembangun bagi proses pembentukan dan perkembangan bunga.
1. Carbon/protein ratio
 Kuncup bunga terbentuk setelah tanaman mencapai keseimbangan carbon/protein
 Hal ini berhubungan dengan kemampuan tanaman untuk melakukan asimilasi, akumulasi makanan, dan alokasi/distribusi hasil asimilasi
 Panjang tunas merupakan faktor penting pada inisiasi bunga pecan. Tunas yang lebih panjang mampu memproduksi lebih banyak bunga secara konsisten dan membentuk lebih banyak polong, dibanding tunas yang lebih pendek yang telah berbunga dan berbuah pada tahun sebelumnya (Malstrom dan McMeans, 1982). Efek ini mungkin berhubungan dengan peningkatan cadangan makanan pada tunas yang lebih panjang.
2. carbon/nitrogen ratio
 Carbon sebagian besar diperoleh dari mobilisasi cadangan makanan dan hasil fotosintesis
 Konsentrasi carbon yang tinggi menentukan ketersediaan energi dan akumulasi makanan untuk pembentukan bunga
 Nitrogen → Dampak positif: ekspansi percabangan,
Dampak negatif: memacu pertumbuhan vegetatif
• Secara umum, aplikasi pupuk terutama nitrogen meningkatkan pembungaan pada sebagian besar tanaman pohon (Sarvas, 1962; Matthews, 1963; Puritch dan Vyse, 1972; Pederick dan Brown, 1976; Weinbaum dkk, 1980; Edwards, 1986).

3. Faktor Internal

Fitohormon
• Auxin
 Merupakan respon terhadap cahaya
 Disintesis di jaringan meristematik apikal (ujung)
 Menstimulir terjadinya pembelahan pada meristem apikal → mempengaruhi proses perpanjangan ujung tanaman
• Ethylene
 Disintesis oleh daun
 Diransfer ke tunas lateral → memulai proses induksi bunga
• Cytokinin
 Disintesis pada jaringan endosperm, ujung akar, dan xylem
 Ditransfer ke daun melalui jaringan xylem
 Berfungsi untuk meningkatkan energi metabolisme → ditransfer untuk membentuk kuncup-kuncup bunga
 Mengendalikan proses translokasi → menjamin ketersediaan energi untuk pembungaan
 Mematahkan dominansi apikal.
 Berperan dalam memacu inisiasi bunga (Ramirez dan Hoad, 1978; Oslund dan Davenport, 1987) dan dijumpai pada level lebih tinggi pada akar Douglas-fir yang sedang berbunga, dibanding pohon yang tidak berbunga (Bonnett-Massimbert dan Zaerr, 1987).
• Gibberellin
 Disintesis pada primordia akar dan batang
 Ditranslokasikan pada xylem dan floem
 Menstimulir proses perpanjangan internodia dan buku-buku pada batang
 Asam giberelik mempunyai efek penghambatan yang sangat kuat terhadap pembungaan berbagai pohon angisperma termasuk tanaman-tanaman buah temperate, rhododendron, jeruk dan mangga (Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Guardiola dkk, 1982; Tomer, 1984). Pada Citrus sinensis, GA3 dapat menyebabkan kuncup-kuncup dorman yang sesungguhnya potensial berbunga kembali sepenuhnya ke tingkat vegetatif, sampai tiba waktunya pembentukan kelopak bunga (Lord dan Eckard, 1987). Luckwill (1980) telah memperkenalkan sebuah model yang melibatkan giberelin pada pengendalian inisiasi bunga apel secara hormonal. Giberelin yang dihasilkan oleh biji-biji yang sedang berkembang dalam buah muda diduga telah menghambat pembentukan bunga, dan dengan demikian mengurangi pembungaan pada musim semi berikutnya.
 Pada umumnya, zat penghambat-tumbuh, seperti Chlormequat Cycocel; (2-cloroethyl)trimethylammonium chloride, Alar dan TIBA (tri-iodobenzoic acid), mengurangi pertumbuhan vegetatif dan memacu pembungaan pada spesies pohon angiosperma (Cathey, 1964; Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979; Ramirez dan Hoad, 1984; Embree dkk, 1987).
 Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosistesis giberelin, yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Edgerton, 1985; Steffens dan Wang, 1985; Tukey, 1985; Bargioni dkk, 1986; Webster dkk, 1986; Embree dkk, 1987).
 Gimnosperma tampaknya memberikan reaksi yang berbeda. Penghambat pertumbuhan telah meningkatkan pembungaan pada spruce Norwegia, namun hal ini tidak berlaku pada spesies konifer (Owens dan Blake, 1985; Bonnet-Massimbert dan Zaerr, 1987). Sebaliknya, Giberelin akan memacu pembungaan pada banyak gimnosperma termasuk Cryptomeria, Cupressus, Thuja, Thujopsis, Juniperus, Metasequoia, Taxodium, Chamaecyparis, Sequoia, Larix, Picea, Pinus, Pseudotsuga dan Tsuga (Hashizume, 1959; Matthews, 1963; Greenwood, 1977; Pharis dan Kuo, 1977; Owens dan Blake, 1985).
 Penelitian terbaru telah memunculkan dugaan bahwa tipe giberelin mungkin merupakan faktor penting dalam respon fisiologis pada tanaman. Dengan demikian aspek pengaruh giberelin pada pembungaan tanaman berkayu menahun atau perenial membutuhkan pengamatan lebih lanjut, mengingat minimnya metode deteksi dan produksi giberelin saat ini.




























Genetik
Fase besar dalam siklus hidup tanaman, yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif, banyak dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang merupakan kontrol genetik.
Fase vegetatif atau juvenil adalah interval waktu selama tanaman tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada spesies dan kondisi lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Lamanya periode juvenil lebih dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986 dalam Griffin dan Sedgley, 1989) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949 dalam Griffin dan Sedgley, 1989), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976 dalam Griffin dan Sedgley, 1989). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat dihubungkan dengan fase juvenil ini; seperti pembentukan duri pada jeruk, pesatnya pertumbuhan meninggi pada larch dan jeruk, susunan daun pada pistachio, bulu-bulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks, 1986; Greenwood, 1987 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Fase juvenil diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal. Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman. Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses pertumbuhan.
Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta, mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga.
Fase reproduktif adalah masa ketika tanaman telah mampu membentuk organ-organ reproduksi dan melangsungkan proses reproduksi untuk membentuk biji. Fase ini terjadi setelah pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga), yang ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai membentuk meristem lateral. Tanaman memasuki fase reproduktif setelah tercapainya suatu karakter genetik yang disebut size effect dan endogenous timing. Size effect adalah ukuran tertentu yang berhubungan dengan kemampuan tanaman mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan. Endogenous timing adalah umur tertentu yang secara genetis berhubungan dengan kesiapannya untuk berbunga.
2.4 Vernalisasi
Pada tahun 1920-an, para ahli sains dari Departemen Pertanian A.S. yang melakukan penelitian di Beltsville, Maryland mulai meneliti aktivitas pembungaan pada tumbuhan. Me-reka mulai menyadari bahwa pembungaan dimulai oleh panjang siang. Setelah menanam tumbuhan dalam rumah tanaman, tempat fotokalanya dapat diubah secara buatan, mereka membuat kesimpulan bahwa tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga kumpulan :
Tumbuhan pendek siang- berbunga apabila fotokalanya lebih pendek daripada panjang genting. (Contoh yang baik ialah pohon cocklebur, pohon merah (poinsetia, kekwa). Tumbuhan panjang siang- berbunga apabila fotokalanya lebih panjang daripada suatu panjang genting. (Contoh yang baik ialah gandum, barli, bunga cengkih, bayam).
Tumbuhan neutral siang- pembungaan tidak bergantung kepada suatu fotokala. (Contoh yang baik ialah tomat dan timun). Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk perbungaan, tetapi diperlukan pula oleh biji-biji tumbuhan tertentu sebelum perkecam-bahan. Respon terhadap suhu dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu pembungaan akan terjadi atau pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode dingin haruslah beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung sepesiesnya. Spesies semusim pada musim dingin, dua tahunan, dan banyak spesies tahunan dari daerah beriklim sedang yang membutuhkan verna-lisasi semacam itu agar berbunga. Biji, umbi, dan kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim sedang membutuhkan stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam penyimpanan yang dingin dan lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi vernalisasi secara harfiah berarti membuat suatu keadaan tumbuhan seperti musim semi, yaitu menggalakkan pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang panjang selama musim semi (Gardner,dkk, 1991).
Seterusnya kita harus mengambil perhatian bahwa suatu tumbuhan panjang siang dan pendek siang dapat mempunyai panjang hari genting yang sama. Bayam merupakan suatu tumbuhan panjang siang yang mempunyai panjang genting selama empat belas jam, rumput reja merupakan suatu tumbuhan pendek siang dan mempunyai panjang genting yang sama. Walau bagaimanapun, bayam hanya berbunga pada musim panas apabila panjang siang me-ningkat sehingga empat belas jam atau lebih, dan rumput reja berbunga pada musim gugur apabila panjang siangnya berkurang hingga empat belas jam atau kurang. (Rumput reja harus menjadi matang sebelum dapat berbunga, sebab itulah tumbuhan ini tidak berbunga pada mu-sim bunga walaupun panjang siangnya kurang daripada empat belas jam).
Pada tahun 1938, K. C. Hammer dan J. Bonner memulai eksperimen dengan panjang siang dan malam buatan yang tidak perlu sama dengan suatu normal, yaitu siang dua puluh empat jam. Mereka kemudian berpendapat bahwa cocklebur yang merupakan tumbuhan pen-dek siang akan berbunga pada waktu gelapnya berterusan selama delapan setengah jam, tanpa memperkirakan panjang waktu siang. Selanjutnya, jika waktu gelap ini diganggu untuk seke-tika oleh pancaran cahaya, maka pohon cocklebur tidak akan berbunga. ( Mengganggu pan-jang waktu penyinaran dengan kegelapan tidak memiliki arti ). Keputusan yang sama juga telah diperoleh bagi tumbuhan panjang siang. Tumbuhan tersebut memerlukan suatu waktu gelap yang lebih pendek daripada suatu panjang genting tanpa memperhitungkan panjang waktu pencahayaan. Walau bagaimanapun, jika suatu malam yang lebih panjang dari panjang genting diganggu oleh suatu pancaran cahaya yang sekejap, maka tumbuhan siang panjang akan berbunga. Dengan demikian, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa panjang waktu gelap yang mengakibatkan pembungaan, bukannya panjang waktu pencahayaan. Dalam keadaan alami, jelaslah siang yang lebih pendek senantiasa berfungsi dengan malam yang lebih pan-jang, dan begitulah sebaliknya.
Pada jurnal, untuk tanaman photoperiod sensitif, untuk menaggapi stimulus bunga in-duktif, daun perlu kompeten dan menghasilkan stimulus bunga dan meristem harus memiliki kemampuan untuk merespon rangsangan tersebut. Jarak antara meristem apikal dan akar me-rupakan faktor yang mengatur saat inisiasi bunga terjadi di bawah kondisi induktif Ribes ni-grum L. Nicotiana tabacum L. (Schwabe dan Al-Doori, 1973; McDaniel, 1980).
2.4.1. letak Vernalisasi
Bukti-bukti bahwa rangsanagan dingin dihasilkan di dalam meristem atau kuncup dan bukan didalam daun diperoleh dari empat fenomena:
1. Biji yang telah mengalami imbibisi mudah divernalisasi
2. Pengenaan suhu dingin hanya pada daun, akar, atau batang tidak efektif.
3. Biji yang sedang berkembang pada tanaman induk dapat dan seringkali sudah terver-nalisasi apabila tepat pada waktu suhu dingin berlangsung sebelum biji menjadi kering.
4. Tanaman yang ditanam dari kuncup liar suatu daun yang sudah tervernalisasi telah tergalakkan untuk berbunga (Gardner,dkk, 1991).

2.4.2 Hilangnya Vernalisasi
Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35̊C) selama periode beberapa hari. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lysenko di Uni soviet, mengenai biji serealia musim dingin yang diver-nalisasi dan dipertahankan biji dalam keadaan kering menyebabkan proses devernalisasi (penghilangan vernalisasi). Percobaan yang dilakukan Lysenko itu tidak berlaku di mana saja, mungkin karena telah tersedia kultivar tipe musim semi yang teradaptasi.
Vernalisasi pada rumput-rumputan tahunan tertentu, ternyata lebih kompleks, selain dingin, juga diperlukan beberapa fotoperiode pendek. Contohnya pada rumput orchard, penggalakan pembungaan terjadi secara alamiah, dan diperlukan suhu ingin untuk mengga-lakkan pembungaan pada sepesies-sepesies tersebut (Gardner,dkk, 1991).

2.4.3 Interaksi Vernalisasi dengan faktor lain
Chailakhyan menyatakan bahwa hanya tumbuhan di daerah temperatur yang menga-lami musim dingin, dapat kita harapkan memerlukan vernalisasi, dan ini adalah tumbuhan hari panjang (LPD). Tumbuhan hari pendek biasanya berada di daerah subtropis.
Ada sebuah interaksi yang ganjil pada Petkus rye (secale cereale), kebutuhan akan vernalisasi dapat digantikan dengan perlakuan hari pendek (short day), tetapi apabila tanaman ini telah memperoleh vernalisasi, dia memerlukan induksi hari panjang untuk pembungaannya. Sama halnya dengan Hyoscyamus niger memerlukan vernalisasi apabila dalam tahap roset dan perbungaan akan terjadi hanya pada hari panjang.

2.4.4 Organ Penerima Rangsangan Vernalisasi
Organ tumbuhan yang dapat menerima rangsangan vernalisasi sangat bervariasi yaitu biji, akar, embrio, pucuk batang. Apabila daun tumbuhan yang memerlukan vernalisasi men-dapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihangatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi).
Vernalisasi merupakan suatu proses yang kompleks yang terdiri dari beberapa proses. Pada Secale cereale, vernalisasi pada tanaman ini terjadi di dalam biji dan semua jaringan yang dihasilkannya berasal dari meristem yang tervernalisasi. Pada Chrysantheum, vernalisasi hanya dapat terjadi pada meristemnya.
Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut verna-lin, yaitu suatu hormon hipotesis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Di dalam hal perbungaan GA dapat mengganti fungsi vernalin, meskipun GA tidak sama dengan vernalin. Pada H. Niger, pemberian GA dapat menggantikan vernalisasi:
Tumbuhan roset GA vegetatif berbunga
Tumbuhan roset vernalisasi berbunga

Menurut hipotesis Chailkhyan, hal tersebut dapat terjadi sebagai berikut:
Pada tumbuhan hari panjang, apabila mengalami vernalisasi akan menghasilkan vernalin, dan pabila selanjutnya memperoleh induksi hari panjang, vernalin akan diubah menjadi giberelin. Giberelin dengan antesin yang sudah tersedia pada tumbuhan hari panjang akan menghasilkan perbungaan. Jadi vernalisasi adalah suatu proses yang aerob, tidak akan terjadi vernalisasi kalau atmosfirnya diganti dengan Nitrogen. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin (Sasmitamihardja, dkk, 1996).
Dalam jurnal kita dapat mengidentifikasi 3 fase perkembangan yaitu fase pra induktif (Juvenil), induktif dan pacsa induktif (Roberts et al 1986). Fase pra induktif tidak sensitif ter-hadap photoperiod, fase induktif tanaman sensitif terhadap photoperiod dan fase pacsa induktif periode photoperiod insensitive selama bunga berkembang. Dengan demikian, jelas bahwa setidaknya empat fase perkembangan perlu dibedakan dalam percobaan mentransfer timbal balik: (1) photoperiod-insensitive fase remaja; (2) photoperiod-sensitif fase induktif, berakhir pada komitmen bunga; (3) photoperiod-sensitif bunga tahap pengembangan, dan (4) photoperiod-insensitive bunga fase pertumbuhan. Suhu optimum yang digunakan ialah 21 derajat celsius. Namun, pendekatan analitis mengasumsikan tanaman sama-sama sensitif terhadap photoperiod selama induksi bunga dan fase awal pembangunan bunga; pengembangan lebih lanjut akan diperlukan untuk memungkinkan analisis transfer data timbal balik dari tanaman dengan tanggapan yang berbeda photoperiod, terutama mereka dengan persyaratan photoperiod ganda.

















BAB III
KESIMPULAN

Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran atau panjang pendeknya hari yang dapat merangsang pembungaan. Berdasarkan panjang hari, tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk pem-bungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan kapas.
Penyelidikan sebenarnya telah menunjukkan bahwa panjang gelaplah yang penting, meng-ganggu waktu gelap dengan adanya cahaya dapat menghalangi pembungaan pada tumbuhan hari pendek.
Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35C). Apabila daun tumbuhan yang me-merlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin, sedangkan bagian pucuk batangnya dihan-gatkan, maka tumbuhan tidak akan berbunga (tidak terjadi vernalisasi). Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan rangsangan vernalisasi disebut vernalin, yaitu suatu hormon hipote-sis karena sampai saat ini belum pernah diisolasi. Disamping itu vernalisasi merupakan proses kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin.







DAFTAR PUSTAKA

Silvia S.Mader. 1995. Biologi, Evolusi, Keanekaragaman dan Lingkungan. Malaysia : Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Riana yani,dkk. 2003. Biologi SMU kelas II, Bandung : Remaja RosdaKarya.
Steven R.Adams, Simon Pearson, Paul Hadley. 2000. Improving quantitative flowering models through a better understanding of the phases of photoperiod sensitivity. Oxford journals ofExperimental Botany vol 52 issue 357 Pp 655-662,October 20, 2000.
Putra, dkk., 2010, Fotoperiodisme dan Vernalisasi, http://rikiharyanto.blogspot.com/
Sanusi, A., 2009, Respon Tanaman Terhadap Penyinaran. http://sanoesi.wordpress.com/about/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar