Numpang promo

Welcome To My Place......

Selamat datang di blogku

Sabtu, 31 Desember 2011

Kerapan Sapi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya yang ada di Indonesia berjumlah ribuan. Namun, tidak sedikit dari kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut yang masih diletarikan oleh masyarakat. Terutama pada masyarakat perkotaan yang sudah mulai pudar pengetahuan mengenai kebudayaan daerah setempat. Untuk itu perlu dilakukan kajian ulang mengenai kebudayaan daerah sehingga generasi penerus dapat mengenal kebudayaan yang sudah ada sejak nenek moyang mereka.
Kebudayaan daerah yang dibahas dalam makalah ini adalah tentang Kerapan Sapi masayarakat Madura. Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja nilai yang terkandung dalam kebudayaan kerapan sapi?
2. Bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dilestarikan oleh masyarakat?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Agar kebudayaan kerapan sapi lebih dikenal oleh masayarakat baik dari masyarakat Madura atau di luar masayarakat Madura.
2. Agar kebudayaan kerapan sapi dapat dilestarikan dan tidak hilang tergerus modernisasi.
3. Agar pembaca dapt mengetahui nila-nilai yang terkandung dalam kebudayaan kerapan sapi.

1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah melalui kajian pustaka, yaitu suatu metode penyusunan makalah berdasarkan hasil pustaka.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Sumber lain mengatakan bahwa pengertian kata “kerapan” adalah adu sapi memakai “kaleles”. Kaleles adalah sarana pelengkap untuk dinaiki sais/joki yang menurut istilah Madura disebut “tukang tongko”. Orang Madura memberi perbedaan antara “kerapan sapi” dan “sapi kerap”. Kerapan sapi adalah sapi yang sedang adu pacu, dalam keadaan bergerak, berlari dan dinamis. Sedang sapi kerap adalah sapi untuk kerapan baik satu maupun lebih. Ini untuk membedakan dengan sapi biasa.

2.2 Sejarah
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.
Berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun diketahui bahwa Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Sumenep pada abad 13. Konon pada era pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep, Raja arif bijaksana ini senantiasa memikirkan cara agar para petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena pada masa itu, cara bercocok tanam masih sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan serba batu.
Setelah berembuk dengan para cerdik pandai, maka dititahkan kepada ahli pertukangan untuk membuat alat yang terbuat dari bambu. Dan alat tersebut ditarik oleh dua ekor sapi, diharapkan dengan bantuan alat tersebut akan mampu mengurangi beban kerja petani. Maka terciptalah sebuah peralatan , yaitu bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi.
Ketika melihat sebagian rakyatnya berkurang kesibukannya seusai panen, terpikir oleh Sang Pangeran untuk memanfaatkan waktu luang dan terbuang tersebut. Semacam keramaian sekaligus kegiatan rekreasi, yang nantinya akan mampu meningkatkan produksi, baik produki peternakan maupun produksi pertanian.
Ide cemerlang pun terlahir, yaitu sebuah bentuk permainan yang mengasyikkan terbentang di benak pikiran sang Pangeran. Permainan yang muncul di pelupuk mata adalah semacam perlombaan. Perlombaan memacu sapi dengan cara memacu berpasang-pasang sapi dalam sebuah areal tegalan yang luas. Dan dalam permainan tersebut, pasangan sapi yang diperlombakan dalam pacuan harus menggunakan peralatan serupa “bajak”, yang biasa dipakai untuk menggarap sawah ladang.
Disamping itu, agar rakyat mampu meningkatkan produksi ternak sapi karena mampu meningkatkan hasil ternak sapi yang sehat, sehingga dapat diadu larinya juga mampu menghasilkan daging sapi bermutu tinggi.
Gagasan Pangeran Katandur terwujud, mula-mula penggandeng pasangan sapi itu terbuat dari bambu. Bentuknya pun serupa bajak. Tetapi ujung bawahnya dibuat rata, sehingga tidak mendongkel tanah. Alat tersebut dinamakan “Kaleles”. Sejak saat itulah, kerapan sapi menjadi perlombaan dan permainan rakyat yang sangat digemari.

2.3 Deskripsi Objek
Anatomi Kerapan
Sapi-sapi yang akan dipacu dipertautkan dengan “pangonong” pada leher-lehernya sehingga menjadi pasangan. Kaleles sebagai sarana untuk kerapan yang dinaiki tokang tongko dari waktu ke waktu mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Kaleles yang dipakai dipilih yang ringan (agar sapi bisa berlari semaksimal mungkin), tetapi kuat untuk dinaiki tokang tongko (joki). Sapi kerap adalah sapi pilihan dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya berdada air artinya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar tegak serta kokoh, berekor panjang dan gemuk. Pemeliharaan sapi kerap juga sangat berbeda dengan sapi biasa. Sapi kerap sangat diperhatikan masalah makannya, kesehatannya dan pada saat-saat tertentu diberi jamu.
Sapi kerap ada tiga macam yaitu sapi yang “cepat panas” (hanya dengan diolesi bedak panas dan obat-obatan cepat terangsang), sapi yang “dingin” (apabila akan dikerap harus dicemeti berkali-kali), dan sapi “kowat kaso” (kuat lelah, memerlukan pemanasan terlebih dahulu).
Beberapa peralatan yang penting dalam kerapan sapi yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Dalam kerapan sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong.

Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:

1. Kerap Keni (kerapan kecil)

Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.

2. Kerap Raja (kerapan besar)

Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)

Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.

4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)

Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)

Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi

Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).

Jalannya Permainan

Sampai saat ini pesta permainan rakyat, Kerapan Sapi diadakan setiap tahun. Dari tingkat wilayah terendah sampai tingkat Karesidenan. Seleksi biasanya diadakan dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai tingkat Madura. Konon ketika wilayah Madura masih berada dalam cengkeraman kolonial Belanda, Kerapan Sapi dilombakan dengan pengaturan dan jadwal sedemikian rupa, sehingga puncak kemeriahan perlombaan jatuh pada tanggal 31 Agustus, tepat hari lahirnya ratu Wilhelmina.
Dalam pelaksanaan perlombaan sebagai ajang pesta rakyat, Kerapan Sapi menyedot semua energi dan aktifitas. Jauh-jauh hari sebelum acara diadakan, perhatian terhadap hewan tersebut sangatlah istimewa. Hewan yang akan dilombakan berada dalam pengawasan yang sangat ketat. Dari pola makanan, suspensi penambah stamina berupa jamu dan ramuan sampai pada kesiapan dalam bentuk supranatural, jampi-jampi, mantera-mantera. Hal itu dalam upaya agar sapi nantinya menjadi yang tercepat, terdepan dan menang.
Adapun kesibukan yang dilakukan sebelum acara perlombaan dimulai, antara lain :
Pada malam hari sebelum hari kerapan tiba, pemilik beserta keluarga serta para supporternya membawa pasangan sapi ke arena perlombaan. Pasangan sapi tersebut, diiringi seperangkat gamelan dan Saronen. Mereka mengadakan perkemahan, sehingga pada malam hari sebelum hari H tiba, di arena perlombaan menjadi tempat yang sangat meriah. Karena peserta dari daerah lain pun berkumpul disana. Pada malam tersebut, tak seorangpun dapat tidur. Karena masing-masing orang telah mempunyai tugas dan kewajiban. Terutama petugas perawat sapi, disamping memijat-mijat (massage) juga menjaga pembakaran. Dengan tujuan agar tak seekor nyamuk pun datang mendekat. Bahkan dari sebagian anggota rombongan melakukan tirakat, agar keesokan harinya sapi yang menjadi andalan keluar sebagai pemenang.
Pada pagi hari, sepasang sapi digandengkan pada Kaleles, dan didandani sedemikian rupa sehingga sepasang sapi tersebut ber-penampilan keren, gagah dan menarik. Setelah itu, sepasang sapi tersebut diarak keliling lapangan diiringi oleh bunyi “taktuk”, (semacam seperangkat gamelan) yang bertalu-talu serta Saronen. Tingkah polah para pengiringpun tak kalah meriah, ada yang membisiki sapi dengan rayuan kata-kata indah agar berjuang untuk menang, ada pula yang menari-nari sambil bernyanyi,
Setelah melakukan seremonial mengelilingi lapangan, sepasang sapi tersebut dibawa ke tempat yang teduh, menunggu giliran nomer perlombaan. Semua aksesoris di tubuh sapi ditanggalkan, dan sepasang sapi tersebut telah siap tempur untuk memacu kecepatannya berlari.
Dari masa ke masa dan telah beratus-ratus tahun pesta rakyat Kerapan Sapi ini dilombakan. Tentunya telah terjadi perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Pada era sekarang tidak lagi melakukan perkemahan pada malam hari, namun sapi-sapi yang akan dilombakan langsung datang pada hari H, saat perlombaan. Selain itu pada awal keberadaan Kerapan Sapi, tidak ada model penyiksaan seperti pada masa sekarang. Untuk memperkencang laju Sapi ketika berlaga, maka dipergunakan pelepah daun pisang (pak-kopak), dibentuk semacam mainan dan menimbulkan suara keras ketika dipukulkan ke punggung sapi. Binatang tersebut benar-benar diperlakukan secara manusiawi.
Berbeda dengan era sekarang “rekeng coccona” sapi (alat pemacu yang digunakan joki) dilengkapi dengan benda-benda tajam. Benda-benda tajam tersebut kemudian ditusuk-tusukkan oleh Joki ke pantat sapi, begitu aba-aba dimulai. Tentu saja sapi-sapi akan lebih memperkencang laju larinya, karena kesakitan. Belum lagi bentuk penyiksaan yang lain, sebelum sapi di lepas berlaga di arena, seluruh bagian badan terutama bagian kepala sapi disiram air cabe atau dibaluri reumason
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.
Dalam setiap perlombaan diadakan suatu bentuk kepanitiaan perlombaan lengkap dengan dewan juri. Panitia pelaksana biasanya berasal dari pihak Pemerintah Daerah, apabila dilaksanakan dalam even kabupaten dan pihak kecamatan apabila dilaksanakan dalam even kecamatan. Adapun komposisi kepanitiaan berasal dari unsur dinas instansi, Muspika dan dibantu oleh Dinas Kehewanan. Tidak menutup kemungkinan kepanitiaan dibentuk oleh masyarakat pecinta sapi kerapan (swasta).
Adapun ketentuan lain yang diatur dalam setiap perlombaan, adalah :
1. Sepasang Sapi Kerapan dinyatakan sebagai pemenang, apabila kaki depan telah menginjak atau melompati garis finis,
2. Sepasang sapi harus tetap dinaiki oleh seorang joki, mulai dari start sampai finis . Walaupun sepasang Sapi Kerapan telah sampai ke garis finis, tetapi tanpa joki (sebab jatuh di tengah arena), akan dinyatakan kalah,
3. Setiap joki diberi selempang dengan warna berbeda,
4. Untuk mendapatkan pemenang, diadakan babak penyisihan. Yang menang dimasukkan dalam satu pool pemenang, demikian pula yang kalah. Untuk babak berikutnya, pemenang akan diadu dengan pemenang, yang kalah diadu dengan yang kalah. Sehingga setelah acara perlombaan usai, maka akan di dapat pemenang sebanyak 6 pasang, yaitu juara I, II dan III dari golongan pemenang dan juara I, II dan III dari golongan kalah,
5. Perlombaan dimulai apabila petugas pemegang bendera di garis start melambaikan bendera dari arah bawah keatas.
Adapun tugas dan tanggung-jawab dewan juri, antara lain :
1. Beberapa anggota dewan juri bertugas di garis finis, untuk meneliti kaki sapi yang pertama kali menginjak atau melompati garis finis,
2. Diatas panggung ada beberapa anggota dewan juri, sebagai dewan hakim yang berwenang memutuskan sapi pemenang dengan memegang bermacam bendera dan bertugas mengacungkan warna bendera yang sama dengan selempang joki pasangan sapi yang dinyatakan sebagai pemenang.

2.4 Nilai-nilai Multikulturalisme yang Terkandung dalam Objek
Nilai budaya

Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
Dibalik kemeriahan dalam arena Kerapan Sapi, ada satu makna filosofi yang sangat mendalam. Yaitu untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita perlu adanya satu kekompakan dan kebersamaan. Satu tujuan cita-cita akan tercapai apabila berada dalam satu komando. Joki merupakan gambaran sang komando dengan mengendarai sapi tunggangan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Dengan melintasi garis lurus (sapi berlari lurus), dipandu oleh Joki. Diumpamakan, garis lurus tersebut adalah pengejawantahan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan yang lurus.
Gambaran Joki sebagai komando diperjelas lagi dengan posisi kaki kiri Joki, diletakkan di Kaleles (nangkring), sedangkan kaki kanan merangkul di Kaleles yang melengkung. Ini merupakan gambaran (tipikal) seorang komando (pemimpin) yang harus berdiri tegak diatas yang dipimpinnya, juga merangkul sekaligus memiliki terhadap komponen yang dipimpinnya.
Dalam arti yang lebih lugas, suatu tujuan akan tercapai dan sukses apabila ada kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang dipandu oleh seorang komando (pemimpin), yang memiliki, merangkul juga melindungi komponen yang dipimpinnya. Sang komando dalam menjalankan kepemimpinannya senantiasa melintasi jalan yang lurus, selalu berada dalam rel kebenaran dan jujur.

2.5 Prospek Nilai-nilai yang Perlu Dilestarikan dan Cara yang Ditempuh
Dalam kebudayaan kerapan sapi terdapat beberapa nilai yang patut untuk dilestarikan. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Kerja keras sangat perlu dilestarikan, karena dengan kerja keras sesuatu dapat dicapai. Dalam masayarakat juga diperlukan kerja sama atau gotong royong, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Adanya persaingan, yang tentunya persaingan secara sehat, akan membuat motivasi seseorang dapat meningkat sehingga meningkatkan semangat pula. Ketertiban dan sportivitas yang dijunjung tinggi akan menciptakan kehidupan masayarakat yang aman dan jujur.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada penulisan makalah ini penulis menyimpulkan bahwa kerapan sapi yang sudah membudaya di Madura harus kita jaga dan terus melestarikannya untuk generasi selanjutnya ,agar nilai nilai budaya dan kearifan selalu di junjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Dalam budaya karaban sapi kita dapat memperoleh nilai-nilai yang luhur diantaranya yakni kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Selain itu juga karaban sapi menjadi budaya ciri khas di negara indonesia dan sumber devisa yang menguntungkan apabila selalu dikembangkan dengan mempromosikan ke berbagai daerah baik dalam negeri maupun luar negeri.

3.2 Saran dan Rekomendasi
Intinya pada hal ini kita harus meningkatkan kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas. Untuk sportivitas sendiri kita harus selalu menjaga kejujuran dan tidak bersikap curang dalam permainan kerapan sapi karena dengan adanya hal itu kita selalu meningkatkan nilai-nilai yang baik dan luhur serta kerja keras dan ketertiban harus kita junjung tinggi demi berjalannya pertandingan kerapan sapi tanpa adanya kericuhan.

3.3 Refleksi dan Rencana Tindak Lanjut
Untuk mewujudkan nilai sportivitas dalam pertandingan karaban sapi kita harus bisa menerima kekalahan dengan lapang dada dan tanpa adanya kericuhan. Baik pemainnya maupun penonton yang memberi semangat diharapkan tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan maka dari itu kita harus menjaga sportivitas

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Kerapan Sapi. (Online), (http://www.tembi.org/perpus/2007_09_perpus02.ht m, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2009.Awal Mula dan Nilai Tradisi Kerapan.(Online), (http://cahayapemikiran.blogspot.com/2009/02/awal- mula-dan-nilai-tradisi-kerapan.html#ixzz1bt9BpaUt, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Sejarah Kerapan Sapi Madura. (Online), (http://www.lontarmadura.com/2011/07/sejarah- kerapan- sapi-madura/#ixzz1bt8VA61j, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2010. Budaya Kerapan Sapi. (Online), (http://1c3tee.wordpress.com/2010/03/22/budaya- kerapan- sapi/, diakses 26 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Kerapan Sapi. (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Karapan_sapi, diaskes pada tanggal 17 Oktober 2011)
Anonymous. 2011. Kerapan Sapi. (Online), (http://youtube.com/kerapan-sapi/12135678, diakses pada 17 Oktober 2011).
Anonymous. 2011. Sejarah Kerapan Sapi. (Online), (http://faktaduniamaya.blogspot.com/2011/03/sejara h-karapan-sapi.html, diakses 26 Oktober 2011).
Mahrus, S. 2010. Sejarah Kerapan Sapi. (Online), (http://mahrus.student.umm.ac.id/2010/01/22/sejarah- kerapan-sapi/, diakses 26 Oktober 2011).

PROFIL KITE_KITE

Nama : Evi Nur Aili
TTL : Jakarta, 19 Agustus 1992
Motto : Semua ada di dalam diri dan pikiran kita masing-masing

Nama : Ernita Lovera Pratiwi Pasaribu
TTL : Mojokerto, 5 Agustus 1992
Motto : Nobody can stop my dream except God and myself
Nama : Noviani Susanto
TTL : Surabaya, 14 November 1992
Motto : Hidup hari ini harus lebih baik dari hari kemarin

Nama : Ika Puspitasari
TTL : Pati, 7 Februari 1992
Motto : Berbakti kepada orang tua merupakan kunci kesuksesanku

Nama : Noer Zein Hidayati
TTL : Probolinggo, 7 Agustus 1992
Motto : Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar